Suar.ID -Tak ada yang menyangka, sosok yang pernah punya kuasa begitu besar pernah mengalami trauma juga.
Benar, tokoh yang kita maksud adalah Soeharto atau biasa kit panggil Pak Harto.
Ternyata ada sejumlah pengalaman di masa kecil yang membuat Soeharto trauma.
Satu di antaranya, Soeharto ternyata pernah trauma dengan benda yang menjadi lambang partai yang menjadi lawan Soeharto dewasa.
Sekali waktu, saat berumur tiga tahun, sepulang dari sawah, Soeharto bermain-main dengan arit. Namun arit itu terlepas dari tangkainya, sehingga mengenai kaki kanan.
Akibat kejadian itu, kaki kanan Soeharto terluka.
Pengalaman lain menyebut, sekitar usia 5 tahun, ketika ibunya ke pasar, Soeharto ditinggal sendirian di rumah, dan diberi uang logam 0,5 sen.
Uang logam ½ sen itu dimain-mainkan, bahkan diemut oleh Soeharto, sampai tertelan.
Karena takut, Soeharto menangis lamaaa sekali.
Baca Juga: Ternyata Pak Harto Sudah Siapkan ‘Penggantinya’ Sebelum Lengser dari Kursi Presiden pada Mei 1998
Apalagi ia ditakut-takuti oleh anak-anak lain bahwa uang itu akan menyangkut di dalam perut dan tidak pernah keluar lagi.
Tidak jelas, apakah kemudian uang itu keluar atau tidak.
Soeharto pun tidak ingat apakah ia berhasil menemukan kembali uang tersebut.
Satu lagi pengalaman tidak menyenangkan, dialami ketika ia bermain bersama seorang saudaranya, Darsono, di depan rumah kakek buyutnya Notosudiro.
Waktu itu kakek buyutnya sedang membuat baju.
Soeharto kemudian dipanggil dan disuruh mengepas sebuah baju yang sedang dibuat.
Dengan senang hati dipakainya baju itu.
Namun ternyata baju itu bukan untuk dia, melainkan untuk Darsono.
Tak lama kemudian, ia disuruh melepas dan menyerahkan baju itu kepada sepupunya.
Baca Juga: Kisah Cinta Sehidup Semati nan Romantis ala Pak Harto dan Bu Tien
Padahal saat itu, Soeharto sendiri tidak memakai kemeja, ia hanya mengenakan celana.
Orang tua Darsono sebetulnya cukup mampu, kenapa dia yang justru diberi surjan oleh kakek buyut?
"Saya merasa nista, hina. Saya nelangsa, sedih sekali. Wah, hidup ini kok begini," Soeharto melampiaskan kesedihannya. (Dwipayana, 1989, hal 10).
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisiFebruari 2008