Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria.
Tahun 1985 ia malah bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Berbekal dari pekerjaan dan kuliahnya, pekerjaan yang digelutinya kemudian lebih banyak terkait dengan hukum atau di perusahaan biasa disebut bagian legal.
Ia juga menjadi konsultan hukum di beberapa perusahaan elektronik seperti Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig, serta beberapa bank.
Dari pekerjaan itu perlahanlahan kehidupannya mulai mapan, setelah memiliki beberapa bidang tanah dan kendaraan di Jakarta.
"Siap, Bung Karno!"
Awalnya Gempar mengenal Soekarno tak lebih sebagai mantan Presiden RI. Ia ingat, sewaktu SMP, pernah nekat membuka sebuah koper besi yang sengaja disembunyikan ibunya di atas plafon rumah.
Tapi selanjutnya isi koper yang kelak dipakai untuk membuka jati dirinya itu, tidak terlalu dihiraukannya.
"Malah ada tongkat komando yang pernah saya pakai untuk menggali-gali tanah," tutur Gempar tentang kenakalannya di masa kecil terhadap benda-benda peninggalan Soekarno itu.
Cerita tentang sang ayah didapat dari Jetje sebelum akhirnya meninggal pada November 2004.
Dalam ingatan Jetje, Soekarno mulai mengenalnya ketika berkunjung ke Manado tahun 1953. Sejak itu keduanya menjalin hubungan melalui surat atau telegram, serta sesekali bertemu jika kebetulan Presiden berkunjung ke Manado.
Tapi orangtua Jetje tidak merestui niat Soekarno untuk menikahi putri mereka.