Kemiskinan ekstrim di Kota tempat tinggal kumuh Sapeur menyebabkan kekhawatiran, fashion telah menguasai kebutuhan dasar manusia.
Lebih jauh, Sapeur justru membanggakan kemampuan mereka untuk dapat mencuci, serta tetap bersih dan higenis, ditengah negara yang persediaan airnya terbatas.
Bahkan, mereka juga mengorbankan kesempatan pindah ke rumah yang lebih baik, membeli mobil atau membayar uang sekolah anaknya, untuk dapat memenuhi hasrat fashionnya.
Banyak yang menggunakan cara ilegal untuk mendapatkan pakaian yang diinginkan, beberapa juga telah berakhir di balik terali besi.
Baca Juga : Setahun Hilang, Tengkorak Kepala Pertapa Suprianto di Gunung Budheg Tulungagung Ditemukan
Baca Juga : Pria Sejak 15 Tahun Operasi Plastik Agar Mirip Michael Jackson, Ibunya Sampai Tak Mengenalinya
Asal Mula
Keberadaan La Sape ditelusuri kembali ke tahun-tahun awal kolonialisme di negara itu.
Prancis telah membudayakan orang-orang Afrika dengan memberi mereka pakaian bekas Eropa sebagai upah atas pelayanan mereka.
Ini kemudian berlanjut dan menjadi gerakan sosial yang dihidupkan kembali pada tahun 1970 oleh musisi Papa Wemba, di Kinshasa, ibukota Republik Demokratik Kongo.
Wemba mempromosikan budaya La Sape, menempatkan penekanan besar pada pakaian berkelas semua pria Kongo, terlepas dari perbedaan sosial mereka.