Tiba-tiba Sintong melihat jika magazin tempat peluru yang jatuh berada di antara warga suku.
Peluru itu sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan pemuda itu mengambil magazin dan memberikannya kepada Sintong.
Ahai, itu pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya.
Mereka memeganginya, untuk memastikan bahwa “manusia burung” yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Meski diliputi perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan ‘dimakan’ semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat.
Lebih dari itu, mereka akhirnya bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Seperti diduga, meski bukan merupakan suku kanibal, suku terasing di Lembah X masih sangat terbelakang.
Baca Juga : Selain Cantik, Miss World Jepang Ini Ternyata Keturunan Langsung Samurai ‘Naga Bermata Satu’ yang Legendaris
Mereka sama sekali belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.