Suar.ID - Herry Wirawan (36) terdakwa kasus rudapaksa 13 santriwatinya sendiri ini akhirnya dituntut hukuman mati dan kebiri kimia.
Nasib sejumlahsantriwatiyang jadi korban ini pun terungkap.
Sebelumnya, tuntutan maksimal ini diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada guru pondok pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat ini.
Dilansir TribunJabar.ID, tuntutan ini pun langsung dibacakan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana dan didengar langsung oleh terdakwa di PN Bandung pada Selasa (11/1/2022).
"Kami pertama menuntut terdakwa dengan hukuman mati.
"Sebagai komitmen kami untuk memberikan efek jera pada pelaku."
"Kedua, kami juga menjatuhkan dan meminta hakim untuk menyebarkan identitas terdakwa dan hukuman tambahan, kebiri kimia," ujar Asep N Mulyana saat di lokasi.
Herry Wirawan dituntut sesuai dengan dakwaan awal yaitu Pasal81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ada sejumlah hal yang dinilai jaksa menjadi pemberat tuntutan pada Herry Wirawan.
Salah satunya yaitu kehebohan kasus yang dipicu tindakan pelaku.
"Terdakwa menggunakansimbolagamadalam pendidikan untuk memanipulasi dan alat justifikasi," ujar Asep.
Apa yang dilakukan Herry Wirawan ini dinilai bisa memicu dampak sosial dan psikologis yang besar pada korban.
Dengan memaksimalkan tuntutan, pihak kejaksaan berharap akan ada efek jera bagi pelaku dan peringatan bagi pihak lainnya.
Nasib korban Herry Wirawan terungkap
Salah seorang kerabat korban TN (35) mengungkapkan kisah sejumlah perempuan yang jadi korban Herry Wirawan selama di pondok pesantren.
TN pun sebut kalau masih ada korban yang trauma meski kejahatan ini telah terungkap setengah tahun lalu.
Rasa trauma ini pun nampak dalam kondisi yang berbeda.
Ada korban yang masih kerap histeris saat dipicu hall tertentu.
Selain itu, ada korban lain yang emosinya menjadi stabil.
Namun, ada juga korban lain yang kini jadi pemurung.
Bahkan, yang lebih parah, ada korban yang hingga kini enggan menyentuh anaknya sendiri.
Malahan, korban ini sering kali marah pada anaknya sendiri.
"Emosinya meledak-ledak, itu anaknya dimarahin enggak mau mengurus, mungkin dia (korban) baru sadar dan enggak terima dengan kondisi ini," ujar TN.
TN juga menyebut kalau korban ini masih dalam pendampingan pihak-pihak terkait terutama dari pemerintahan.
Ia pun meminta agar pemerintah yang terlibat mengutamakan pemulihan kondisi psikis korban.
Bahkan, TN ini menganggap kondisi korban ini sebagai sesuatu yang mengerikan.
"Kalau dengar satu-satu dari cerita korban, itu mengerikan, setiap korban punya cerita ngeri masing-masing," ungkapnya.