Suar.ID- Ladang minyaknya makin menipis lantaran terus dikeruk pihak asing, nasib Timor Leste di masa depan semakin terombang-ambing.
Sejak berpisah dari Indonesia di tahun 2002, Timor Leste mendaku mampu untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Sebagai negara yang berdaulat, Bumi Lorosae ini tak ingin lagi merasa 'dicengkeram' oleh Indonesia untuk mengolah hasil kekayaan alamnya sendiri.
Melalui referendum dan dukungan dari PBB, mimpi kemerdekaan untuk Timor Leste pun akhirnya menjadi kenyataan.
Tapi kini setelah hampir 20 tahun berlalu, nasib Timor Leste kini justru terombang-ambing tanpa arah.
Bahkan sosok ini bongkar data yang sebenarnya terkait nasib bahaya yang mengintai Bumi Lorosae di masa depan.
Dikutip dariSerambinews, ada fakta mengejutkan terkait kondisi Timor Leste yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Ladang minyak yang dulu digadang-gadang Timor Leste sebagai sumber kekayaan kini kondisinya semakin menipis.
Ironisnya, menipisnya stok ladang minyak Timor Leste justru dinikmati oleh pihak asing daripada rakyat asli Bumi Lorosae.
Selama ini, minyak yang dihasilkan dari ladang minyak Timor Leste akan diberikan dalam bentuk royalti, oleh perusahaan yang mengelola hasil minyak tersebut.
Menurut Dokumen Kementerian Luar Negeri Selandia Baru, ini sangat berbahaya.
Ladang minyak yang semakin menipis membuat negara itu semakin kehabisan sumber pendapatannya.
Belum lagi proyek pembangunan yang diprediksi akan memakan uang dalam jumlah besar, dan utang yang cukup tinggi dari China.
"Lebih dari 75 persen sumber daya di ladang Bayu-Undung dan Kitan telah habis," kata dokumen kementerian itu.
"Sejak 2012 (pendapatan minyak dan gas) mengalami penurunan," katanya.
"Pada 2014, pendapatan minyak dan gas memberikan pendapatan 40 persen lebih rendah kepada pemerintah Timor Leste dibandingkan pada 2013," imbuhnya.
Pada tahun 2014, dana minyak bumi menyumbang 93 persen dari total pendapatan negara.
Bak besar pasak daripada tiang, pemerintahTimor Leste justru menghabiskan dua kali pendapatan sebenarnya dari dana tersebut setiap tahun sejak 2008.
Tak cukup sampai disitu, Timor Leste juga terancam dengan situasi berbahaya kematian rata-rata pekerja yang cukup tinggi.
Menurut analisis data kematian akibat kerja oleh ILO, Dewan Keselamatan Nasional, dan Elsevier Ltd.
Studi tersebut mengungkapkan tingkat kematian global dari kegiatan ekonomi di seluruh dunia, mengutip Islandia, Malta dan San Marino sebagai tiga negara paling tidak berbahaya bagi pekerja.
Beberapa negara ditemukan memiliki kondisi kematian di tempat kerja dalam jumlah tinggi, dan tentu saja kondisi ini membahayakan.
Seperti di antaranya Bhutan, di Asia Selatan, sebagai negara paling berbahaya bagi pekerja, dengan tingkat kematian rata-rata 31,9 di semua pekerjaan.
Timor Leste adalah yang paling berbahaya kedua, dengan tingkat 29,2 kematian pekerja per 100.000, dan Nepal adalah yang paling berbahaya ketiga, dengan tingkat 28,8.