Suar.ID -Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja terus mendapat sorotan dan penolakan.
Salah satu poin yang mendapat sorotan cukup kencang adalah perihal upah minimum yang disebut dihitung per jam di UU Cipta Kerja.
Terkait hal itu, Presiden Jokowi akhirnya buka suara.
Sebelumnya, seperti dilaporkan Kompas.com, Presiden Jokowi menyebut banyak diisformasi dan hoaks yang membuat UU Cipta Kerja ditolak di sana-sini.
Salah satunya soal upah pekerja yang dibayarkan per jam.
"Ada juga yang menyebutkan bahwa upah minimum dihitung per jam. Ini juga tidak benar," kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020).
Presiden Jokowi menegaskan, tak ada perubahan dibandingkan pengupahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil," katanya.
Faktanya, menurut Presiden Jokowi, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah dengan satuan hasil dan waktu.
Sementara itu, UU Cipta Kerja merevisi UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan Pasal 88 B.
Pasal 88 B ayat (1) menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil.
Lalu dalam Pasal 88 B ayat (2) juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya menilai penambahan Pasal 88 B itu memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.
"Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media," katanya.
Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam UU Cipta kerja bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan.
Skema upah per jam
Pada Desember 2019, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pernah menjelaskan soal langkah pemerintah yang menggodok skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja.
Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.
Waktu kerja dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 40 jam per minggu.
Di sisi lain, banyak profesi yang jam kerjanya di bawah 40 jam per pekan, sehingga dirasa perlu dibuat regulasi yang menjadi payung hukumnya.
"Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu hitungannya per jam," ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seperti dikutip dari Kontan, Senin (29/12/2019).
Ida mengatakan, aturan baru itu juga menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja.
Pasalnya, banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema beberapa jam.
Rencana kebijakan tersebut pun, diakui Ida, telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja.
Nantinya skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan.
"Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," terang Ida.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, skema pembayaran upah per jam dalam RUU Cipta Lapangan Kerja hanya untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu.
"Jadi itu salah terima. Kalau yang per jam itu misalnya konsultan yang dibayar per jam, jadi lebih ke pekerja jasa atau pekerja paruh waktu," ujarnya.
"Misalnya kerja di restoran itu kan bisa digaji paruh waktu, jadi itu diakomodir di dalam UU berubah jadi gaji per jam," katanya lagi.
Airlangga menyebutkan, ada urgensi dari aturan gaji pekerja dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.
Pemerintah ingin semua pekerja masuk ke sektor formal.
Namun, selama ini pekerja masuk ke dalam dua sektor, yakni sektor formal dan informal.
"Kan kita perlu memberikan kesempatan pada sektor formal, kalau kita kerja di restoran kan gajinya berbasis mereka yang kerja di restoran. Ini harus kita akomodasi. Semua sektor kerja harus diakomodasi," tutur dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jokowi Bantah Upah Minimum Dihitung Per Jam di UU Cipta Kerja, Bagaimana Faktanya?"