Suar.ID -Dulu, Majalah Intisari punya kebiasaan berkunjung ke kantor beberapa pentolan partai politik yang ada di Indonesia.
Termasuk berkunjung ke kantor Dipa Nusantara Aidit, seorang pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Intisari berkunjung ke kantor DN Aidit pada Maret 1964--setehun sebelum geger 30 September 1965.
Berikut pengalaman Intisari berkunjung ke kantor CC PKI di Jalan Raya Kramat, Jakarta Pusat.
***
Bagaimana markas besar bung Aidit? Kerapian dan militansi organisasinya terasa benar, tatkala kami berdua hendak diterima oleh bung Aidit.
Isi buku tamu, diantarkan ke kamar tunggu. Tak lama kemudian bung Aidit keluar mempersilakan kami masuk ruang kerjanya.
Dindingnya bercat ros, serba rapi, yang kami lihat potret bung Aidit dengan bung Karno serta bung Aidit dengan kawan Mao Tse Tung.
Tak banyak kami ajukan pertanyaan, karena berdasarkan daftar pertanyaan yang kami kirimkan lebih dulu, sudah disusunnya garis besar riwayat hidupnya yang dibacanya sambil memberikan beberapa keterangan.
Tatkala bung Aidit duduk di sekolah dasar HIS Blitung, pak guru St. Indra bertanya kepadanya dalam mata pelajaran ilmu bumi. Di Digul ada apa?
Jawabnya, “Ada banyak orang pandai.” Pak guru agak terkejut dan murid itu dibeirnya angka baik. Jawaban itu didapatkan Dipa Nusantara Aidit dari ayahnya.
Ayahnya suka membaca surat kabar misalnya Pemandangan. Kepada anak-anaknya, sering ia berceritera tentang pemimpin-pemimpin masa itu seperti Soekarno, Hatta, pemuka-pemuka lain yang banyak dibuang ke Digul. Mereka itu orang pandai-pandai. Ini berkesan pada Aidit kecil.
Nama ayahnya Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan sekolah HIS. Dipa Nusantara Aidit kelahiran Medan tanggal 30 Juni 1923.
Kemudian keluarganya pindah ke Belitung dan di sanalah ia menamatkan sekolah dasar. Saudaranya 4 dengan dia, semuanya lelaki: Basri, Sobron, Murad, dan D.N. Aidit.
Semuanya pengikut Marx dan Lenin hanya ada yang aktif ada yang tidak. Ibunya meninggal tatkala bung Aidit berumur 6 tahun.
Di Belitung ada tambang. Sering bung Aidit bersama teman-temannya masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah. Kontras antara kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya.
Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.
Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.
Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Karena biaya macet, tidak sampai tamat.
Malahan pernah ia bekerja sebagai pembuat lubang kancing pada tukang jahit. Katanya, ia pun suka sekali ke museum membaca buku-buku.
Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis, Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, Kautzky, adalah beberapa nama yang ia sebutkan.
Baca Juga: Ternyata, Soeharto Kecil Sangat Trauma dengan Alat yang Menjadi Lambang Partai Paling Dibencinya
Pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berlainan halnya tatkala ia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.
Penderitaan lenyap apabila kelas-kelas itu lenyap. Tetapi untuk meniadakan kelas-kelas itu, justru dibutuhkan kesadaran kelas untuk dipertentangkan menjadi “perang kelas”.
Baru pertama kali itu kami berhadapan muka dengan bung Aidit. Yang istimewa ketajaman matanya dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi.
Ini mungkin cermin dari dinamis jiwanya. Dinamik pemuda itu di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi. Ia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa. Katanya, “Sejak dulu saya menentang rasialisme.”
Ia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir Sjarifudin SH. “Besar pengaruhnya terhadap saya. Ia seorang intelektual yagn militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”
Resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang. Perantaranya, Widarta. Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20 tahun.
Baca Juga: Aidit ketika Diwawancarai Intisari pada Maret 1964: Banyak Minum, Rokok, dan Secangkir Kopi Pahit
Mengapa? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen. Ia pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, Lukman.
Gedung Menteg 31 memainkan sejarah penting. Di situ tempat institut pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang. Direkturnya Wikana.
Guru-gurunya tokoh-tokoh pergerakan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri. Pelajaran yang diberikan Hukum, Filsafat, Sosiologi, Sejarah Politik, Ekonomi.
“Di situlah saya mendapat pendidikan politik yang lebih sistematis,” sambungnya. Ditambahkannya pula sejak saat itu ia mengenal perbedaan Soekarno dan Hatta.
Bung Karno seorang intelektual yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat yang percaya akan massa aksi. Dengan indoktrinasi dan agitasi menerapkan ide-ide ilmiah kepada massa.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 itu dari seorang wanita Indo, Aidit mendengar berita Jepang sudah kalah. Sore harinya di gedung Menteng 31 berkumpul kira-kira 13 pemuda dipimpin oleh Chairul Saleh. Serentak semuanya sepakat: Sekarang juga merdeka!
Untuk itu dibutuhkan pimpinan, kalau tidak akan terjadi kekacauan. Juga harus dijaga jangan sampai pemimpin-pemimpin yang patriotik diserahkan sebagai inventaris Jepang kepada Sekutu.
Empat pemuda diutus rapat menghadap Bung Karno. Suroto Kunto, D.N. Aidit, Subadio Sastrosatomo, dan Wikana, yang bertindak sebagai juru bicara.
Mula-mula terjadi perbedaan paham akhirnya tiba juga saatnya 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di gedung Pegangsaan Timur 17, proklamasi kemerdekaan.
Tiga hari tiga malam Aidit dan kawan-kawan tidak memejamkan mata. Dan proklamasi barulah permulaan. Ia bandingkan dengan proklamasi RRC, Vietnam.
Pada kedua negara itu, mereka menduduki beberapa daerah dengan kekuatan senjata, baru proklamasi. Kita proklamasi dulu baru dipertahankan terhadap musuh.
Pada September 1945 setelah rapat raksasa Ikada tanggal 9 September, Aidit ditawan Jepang bersama dengan Hanafi, Adam Malik.
Kepala penjara Bukitduri waktu itu Pak Thayeb, ayah Prof. Dr. Syaril Thayeb, Rektor Universitas Indonesia. Dengan bantuan pak Thayeb mereka lolos ketika penjaga membuka pintu untuk mengantarakan makanan dan obat.
Dalam pertempuran di Jatinegara ia ditawan pasukan Inggris, diserahkan kepada Belanda dan selama 7 bulan ditahan di pulau Onrust. Baru lepas setelah perjanjian Linggarjati.
Ia terus ke Solo, tempat CC PKI pada waktu itu. Dalam Kongres IV PKI 1945 Aidit mewakili PKI Solo. Dalam kongres itu ia bertemu dengan Njoto, wakil dari Jember. Ia terpilih menjadi anggota Central Komite PKI.
Menurut buku Arnold C. Brackman Indonesian Communism, sekitar tahun 1949 itu Aidit keluar negeri. “I left Indonesia because I was eager to learn about the world.” (Saya meninggakan Indonesia karena saya ingin sekali mempelajari dunia) katanya kepada Brackman menurut buku itu.
Setelah terjadinya “peristiwa Madiun” 1948, PKI kehilangan poros pimpinan. Pada 1950 Aidit mulai menyusun konsep anggaran dasar baru.
Dan pada sidang CC tahun berikutnya ia terpilih menjadi Sekretaris. Tahun 1951 bersama Njoto ia hendak menghadiri kongres partai komunis Nederland.
Waktu itu kalau mau ke Belanda tak diperlukan visum. Sampai di lapangan terbang Schiphol keduanya tak dibolehkan turun. Disuruh pulang kembali.
Komentarnya, “Kami disuruh bayar lagi. Tentu saja kami tolak. Kan mereka yang memulangkan kami.”
Pada Kongres IV PKI 1954 peremajaan pimpinan PKI berhasil. Sekjen D.N. Aidit (31 tahun), kedua wakilnya MH Lukman (34 tahun), dan Njoto (29 tahun).
Sekali waktu Sekjen Aidit pergi ke Manado. Orang bertanya kepadanya, “Bung kapan datang jenderalnya?”
Orang kira sekjen berarti sekretarisnya jenderal. Nama itu ternyata tak sesuai dengan pengertian masyarakat kita.
Pada 1959 diubah menjadi Ketua Rekan dan anak buah menyebutnya “Kawan ketua Aidit”. Salam mereka bukan membungkuk (ini feodal bukan?) tetapi angkat tangan sambil tersenyum.
Agitas, organisasi, dan mobilisasi massa adalah garis baru yang ditegaskan PKI selama ini. Sebelum diterima oleh Aidit ada beberapa kali saya menunggu di ruang penerima tetamu.
Percakapan mereka selalu segar. Penuh keyakinan, optimisme, dan hari depan yang gemilang!
Dalam kedudukan sebagai Ketua CC, Aidit sering kali melawat ke luar negeri. Menghadiri kongres-kongres di Moskow dan negara-negara komunis lainnya.
Katanya ini perlu baginya. Karena merupakan bahan perbandingan yang bermanfaat dalam “mengindonesiakan” partai komunis.
Kawan hidup Aidit seorang dokter spesialis atom untuk kesehatan tetapi juga seorang aktivis Gerwani. Namanya, nyonya dokter Tanti Aidit. Mereka kawin pada tahun 1948, rupanya di Solo.
“Sebenarnya anak saya 4, tetapi karena yang bungsu kembar jadi 5,” kata Aidit sambil menarik-narik kedua pipa celananya sampai-sampai ke atas lutut.
Tatkala nyonya Tanti mengadakan spesialisasi di Moskow, anak-anaknya turut serta. Dua anak perempuan yang tertua sekolah di sana sampai sekarang, 1 SM, 1 SD. Tiga yang di rumah semuanya lelaki. Dokter Tanti Aidit kini mengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Aidit berkendaraan mobil mentereng Dodge hitam karena sebagai wakil ketua MPRS ia adalah Yang Mulia Menteri.
Dengan sendirinya tokoh seperti dirinya banyak pikiran dan pekerjaan. Namun tetap segar, jernih mukanya. Seminggu sekali sedapat-dapatnya ia berenang.
Kesehatan perlu bagi seorang pemimpin, “Kalau pemimpin sakit, bukan dia saja menanggung akibatnya, tetapi organisasi masyarakat.”
Politikus yang tak berolahraga menurut pendapatnya abnormal. Selama wawancara 2 jam itu, Aidit banyak minum, rokok, dan secangkir kopi pahit.
Ia pun gemar musik. Musik yang indah mampu melenyapkan keletihan tubuh. Tidur cukup 4 – 5 jam sehari. Asal betul-betul pulas.
Pernah karena kesibukan dalam MPRS ia tak tidur dua hari dua malam. Seorang politikus menurut pendapatnya seharusnya gemar juga akan kesenian.
Kesenian membantu perkembangan pribadi yang harmonis, perkembangan pikiran, dan perasaan.
Ia gemar kesusasteraan. Shakespeare misalnya. Karena sekalipun ia bukan seorang sosialis tetapi karya-karyanya melukiskan keadaan masyarakat pada zamannya.
Amir Syarifuddin suka juga membaca Shakespeare. Sobron Aidit seorang sastrawan terkemuka adalah saudara kandungnya. Jamak kalau Aidit pun menyukai puisi.
Dulu ia beranggapan untuk politik cukup mengetahui sosiologi. Itu sebabnya ia membaca banyak buku sosiologi di museum. Itu tak benar, harus ditambah dengan ekonomi dan politik.
Orang berpolitik harus belajar banyak. Mengambil keputusan-keputusan politik hanya berdasarkan surat kabar atau majalah tidaklah cukup.
Karena itu kader-kader PKI sendiri diwajibkan mengikuti pelajaran. Untuk itu dibuka Akademi-akademi seperti Akademi Ali Archam, Dr. Rivai, Dr. Ratulangi, dll.
Kalau kader-kader PKI militan dan semangat itu karena mereka telah mendapat pendidikan, latihan, dan contoh dari pimpinan.
Seorang kader yang mengeluh tentang beban sandang pangan dewasa ini, misalnya, harus insaf bahwa rakyat banyak yang ia bela lebih sulit keadaannya.
Padahal kekuatan mereka justru dalam kesetiakawanan dengan massa rakyat. Demikian keterangan bung Aidit.
Saya ajukan pertanyaan: selama berjuang dalam politik sejauh ini manakah puncak baginya? Dijawab, “Proklamasi kemerdekaan,” lalu ditambahkan “Itu sampai sekarang…. Entah nanti!”
Itulah sekadar perkenalan pertama dengan bung Aidit. Belum mendalam tentu, tiada lengkap pula. Maklum hasil percakapan 2 jam saja.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1964)