Suar.ID - Hari Ibu selalu dirayakan dengan sukacita.
Setiap orang berbondong-bondong mengucapkan 'selamat hari ibu' kepada ibunda tercinta.
Juga memberikan kado spesial untuk sosok yang melahirkan kita ke dunia ini.
Namun, tahukah Anda asal mula peringatan Hari Ibu 22 Desember di Indonesia?
Hari Ibu akan kembali diperingati pada hari ini, Minggu (22/12/2019).
Peringatan Hari Ibu di Indonesia dilakukan setiap tahunnya pada 22 Desember.
Hari Ibu di Indonesia berawal dari adanya Kongres Perempuan I, 91 tahun lalu, 22 Desember 1928.
Dilansir Kompas.com pada22 Desember 2018, kongres ini dilaksanakan selama tiga hari, dari 22 Desember-25 Desember 1928.
Kongres Perempuan I dihadiri oleh 600 orang yang berasal dari 30 organisasi.
Adapun isu-isu yang dibahas antara lain adalah pendidikan perempuan bagi anak gadis, perkawinan anak-anak, kawin paksa, permaduan, dan perceraian secara sewenang-wenang.
Kongres ini juga membahas dan memperjuangkan peran wanita bukan hanya sebagai istri.
Hari Ibu sebagai hari nasional Melansir Harian Kompas, 22 Desember 1977, pada 16 Desember 1959, Hari Ibu ditetapkan sebagai Hari Nasional.
Keputusan ini sesuai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.
Dalam Kongres Perempuan 1928, ada sejumlah organisasi dan tokoh penting yang berkontribusi.
Adapun organisasi-organisasi itu adalah Wanita Oetomo, Aisyah, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Wanita Moeljo, dan bagian perempuan dalam Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, serta Wanita Taman Siswa.
Sedangkan beberapa tokoh penting dalam Kongres Perempuan I ini di antaranya adalah Nyi Hajar Dewantara (Wanita Taman Siswa), Ny. Soekonto (Wanita Oetomo) dan Sujatin Kartowijono (Poetri Indonesia).
Mari mengenal 3 perempuan di balik Kongres Perempuan I ini:
Nyi Hajar Dewantara
Nyi Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh yang berperan dalam Kongres Perempuan I.
Pada kongres tersebut, ia mewakili organisasi Wanita Taman Siswa.
Melansir dari laman Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Nyi Hajar Dewantara adalah pendiri Taman Siswa dan pemimpin perguruan tinggi Taman Siswa hingga akhir hayatnya.
Ia lahir pada 14 September 1890 dengan nama Raden Ajeng (R.A.) Sutartinah. R.A.
Sutartinah menamatkan pendidikannya di Europease Lagere School pada tahun 1904.
Ia kemudian melanjutkan ke sekolah guru dan menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan Priyo Gondoatmodjo.
Pada 4 November 1907, ia bertunangan dengan R.M Suwardi Suryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Perkawinannya dengan Suwardi Suryaningrat kemudian mengenalkannya pada dunia jurnalistik dan politik.
Nyi Hajar Dewantara kemudian terus aktif dalam dunia pendidikan dan pergerakan perempuan, termasuk keikutsertaannya dalam susunan pengurus yang dibentuk setelah Kongres Perempuan I di Yogyakarta tersebut.
Siti Soekaptinah atau Ny. Sunaryo Mangunpuspito
Siti Soekaptinah juga menjadi tokoh penting dalam Kongres Perempuan I di Yogyakarta.
Saat kongres tersebut, ia tergabung dalam Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, ketika masih berusia 21 tahun.
Siti Soekaptinah pernah menjadi anggota Gementeraad (Dewan Kotapraja) pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bersama Emma Puradireja, Sri Oemijati, dan Ny. Soedirman.
Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai anggota DPR Pusat hasil Pemilu I dan menjadi anggota Konstituante.
Setelah pensiun pada tahun 1961, Siti Koestinah memutuskan untuk tidak terlalu aktif dalam organisasi. Ia pun mulai berkarya di dunia batik.
Saat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, batik buatannya sudah mulai diproduksi, yaitu batik yang ia namai dengan "Batik Indonesia."
Ny. Sujatin Kartowirjono
Ny. Sujatin Kartowirjono merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam pertemuan yang dikenal sebagai Kongres Perempuan I tahun 1928.
Melansir Harian Kompas, 22 Desember 1977, saat Kongres Perempuan pertama dilakukan, ia masih berusia 21 tahun dan berprofesi sebagai seorang guru muda.
Saat itu, Sujatin belum menikah.
Ia merupakan Ketua Poetri Indonesia, yaitu sebuah organisasi wanita-wanita muda, terutama guru-guru.
Selain itu, Ny. Sujatin juga menjadi pengurus Wanita Oetomo.
Hingga lanjut usia, Ny. Sujatin tetap aktif dalam dunia pergerakan wanita.
Ia pernah menjadi Ketua dalam sejumlah organisasi seperti KOWANI dan PERWARI.
Ny. Sujatin juga menjadi Pengurus Besar Persatuan Werdhatama Republik Indonesia.
Atas jasa-jasanya, ia telah memperoleh sejumlah penghargaan, di antaranya adalah Satya Lencana Kebaktian Sosial tahun 1961 dan Satya Lencana Pembangunan di tahun 1968.
Selain itu, ia juga menulis sebuah buku yang berjudul "Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia" yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu.
Baca Juga: Sekjen PDIP Tanggapi Persoalan Gibran yang TeRnyata Tak Penuhi Syarat Pencalonan Kepala Daerah
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Hari Ibu 22 Desember, Ini Tokoh Perempuan di Balik Kongres 1928