Menurut penuturan Lukas Kustaryo, pada majalah Intisari edisi Agustus 1991, dia lantas berkeliling dan akhirnya menemukan kain merah yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto.
Kemudian, kain merah tersebut ditebusnya dengan harga Rp 500 sen, dan menyerahkannya kepada Ibu Fat.
Akhirnya, Ibu Fat menjahit bendera Merah Putih yang baru dengan ukuran 276 x 200 cm malam itu juga untuk digunakan keesokan harinya.
Bendera itu akhirnya dikibarkan pada hari Jumat 17 Agustus 1945 sekaligus menjadi bendera pusaka di kemudian hari.
Sang Saka Merah Putih terakhir kali berkibar pada 1969, kemudian pemerintah RI membuat bendera duplikat dengan ukuran 300 x 200 cm.
Namun demikian, kisah tersebut diluruskan melalui Buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno, volume 1, yang terbit 1978.
Melalui buku tersebut, Fatmawati menceritakan, dari mana dia mendapatkan kain untuk bendera merah putih tersebut.
Dalam buku tersebut, Ibu Fat menceritakan, suatu hari, Oktober 1944, tatkala kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944), datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok.
"Yang satu blok berwarna merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai," kata Fatmawati kala itu.
Dengan kain itulah, Ibu Fat menjahitkan sehelai bendera merah putih dengan menggunakan mesin jahit tangan.
Dikisahkan, perwira tersebut adalah seorang pemuda bernama Chairul Basri yang diperolehnya dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda).