Dalam esai yang dimuat diNew York Times, Sherman menulis tentang seorang wanita yang setiap tahun menghasilkan Rp4 miliar dan mewarisi kekayaan keluarga beberapa juta dollar, selalu membuang label harga baju yang baru dibelinya sehingga nanny-nya tidak sampai melihatnya.
"Seorang desainer interior yang saya kenal juga bercerita, salah satu kliennya selalu menyembunyikan harga barang-barang yang ia beli.”
“Semua barang furnitur yang datang ke rumahnya juga harus dihilangkan agar staf di rumah tidak melihatnya," katanya.
Kebiasaan itu menunjukkan pola yang lebih besar, orang kaya itu menganggap dirinya normal, dan merasa canggung dengan hasil belanjannya karena tidak mau dianggap kaya.
Dalam hal kekayaan atau harta, orang-orang kaya itu juga tidak pernah menunjukkan bahwa ia "kaya" atau "kelas atas".
Menurut Sherman, mayoritas lebih suka istilah "nyaman" atau "beruntung".
Sebagian orang kaya juga mengelompokkan dirinya ke dalam "kelas menengah" atau "di tengah", karena mereka membandingkan dirinya dengan orang yang lebih kaya lagi.
"Orang-orang yang saya wawancara itu tidak pernah membual tentang harga yang mahal.”
“Mereka justru bersemangat bercerita ketika berhasil menawar harga barang, memberi pakaian di tempat biasa, atau naik mobil tua," katanya.
Apa yang Sherman temukan itu sejalan dengan yang dituliskan Thomas C.Corley dalam bukunya "Rich Habits".
Ia melakukan wawancara selama 5 tahun dengan para milyuner untuk mengetahui kebiasaan yang membuat mereka menjadi kaya.