Selain dengan alasan "menghindari zinah", pernikahan anak juga didorong faktor kesulitan ekonomi.
"Nyesel sekali, nyesel," kata Eni, bukan nama sebenarnya, warga sebuah desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang anaknya baru saja menikah Mei lalu.
Pada Agustus lalu, Eni berkeluh kesah, ia gelisah membayangkan nasib putrinya, Mona, (bukan nama sebenarnya), yang menjadi istri orang di usia di usia 14 tahun.
Meski merupakan pengantin baru, Eni mengatakan puterinya, yang disebutnya 'masih anak-anak dan labil' itu telah mengeluhkan kelakukan suaminya.
Mona mengatakan suaminya, yang lebih tua empat tahun darinya, berkali-kali memukulnya hingga mencakarnya.
Eni mengatakan hal itu membuatnya begitu menyesal telah mengizinkan putrinya menikah.
Situasi itu tak lepas dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan anak-anak tak bisa kembali ke sekolah.
Eni mengatakan karena tidak bersekolah secara tatap muka, puterinya semakin sering sering pacaran dan pacarnya saat itu disebut Eni 'semakin sering ngapel ke rumah'.
Tak lama, mereka minta dinikahkan.
Desakan itu membuat Eni merestui perkawinan anaknya yang digelar secara agama dan "disaksikan banyak orang".
Mona kini tinggal bersama suaminya.