"Ada pasien dimarahi. Dia nanya berapa biaya berobatnya, terus kena sental (dimarahi) sama Buya, ‘udah nggak usah bayar aja’, kata Buya," cerita Restu.
Menurut pengakuan Restu, sekali berobat ia memasukkan Rp25 ribu, kadang Rp30 ribu ke dalam amplop.
"Beginilah dokter yang kita inginkan, arif bijaksana, dan tidak komersil."
Praktik dokter Aznan selalu dipadati pasien yang jumlahnyamencapai seratusan.
Akibatnya ia sering harus membuka praktik hingga dini hari, terkadang sampai pukul 01.30.
Tentu sang profesor dibantu beberapa mahasiswanya yang sedang coass (magang dokter).
Setiap pasien yang akan masuk ruang praktik dipanggil oleh coass, terkadang istri Aznan, Yanti, juga turut memanggil.
Di dalam ruang praktik yang leluasa dilihat, rata-rata pasien diperiksa sekitar 5‑15 menit.
"Minimal sehari 30 pasien. Nggak ada saya pun 30 paling sedikit. Kalau saya ke luar kota, bila ada kejadian yang sulit, anak saya yang dokter bisa menghubungi saya. Pasien juga bisa bertanya langsung melalui telepon," kata Aznan.
Selain datang dari pelbagai daerah, pasien dr. Aznan juga beraneka jenis kelamin, tingkat usia, suku bangsa, dan agama.
Bahkan seorang biarawati Belanda pernah menjadi pasiennya. Soal bayarannya, Aznan mengatakan tidak penting.
Dia bilang, "Kalau dia mau datang jauh‑jauh jumpai aku, berarti kan dia menghormati aku. Bisa rupanya dibayar penghormatan itu?"