Seorang istri dijual dengan menggunakan sistem lelang, dimana hanya penawar tertinggilah yang dapat membelinya.
Tak hanya dari pihak pria saja yang tega menjual istrinya, namun pihak istri pun ternyata dapat meminta untuk dijual.
Hal ini umumnya terjadi ketika sang istri sudah tak tahan karena merasa kehidupan pernikahan yang tak bahagai.
Bisa juga karena sang istri tak tahan dengan perlakukan suami yang sering melakukan tindak kekerasan.
Jika dalam kondisi sang istri yang meminta dijual, maka ia sendirilah yang berhak memutuskan siapa pembelinya dan boleh pula menolak calon pembeli.
Biasanya suami istri akan membuat kesepakatan setidakya seminggu sebelum pelaksanaan jual-beli.
Tentunya praktik penjualan istri dianggap gila dan tabu di masa modern ini, namun ada zaman dahuu hal tersebut dianggap lumrah.
Lantaran pernikahan pada zaman dahulu lebih sering didasarkan pada kepentingan ekonomi bukan karena cinta.
Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Pernikahan pada 1753, dahulu bahkan pernikahan tak memerlukan upacara khusus, hanya perlu kesepakatan.
Praktik penjualan istri sudah menurun sejak penerapan peraturan perceraian modern, sayangnya masih ada beberapa tempat yang melakukannya.
Bahkan pada 2009 lalu, seorang petani miskin yang tinggal di sebuah pedesaan di India dipaksa untuk menjual istri-istrinya demi melunasi hutangnya.