Suar.ID - Timor Leste (dulunya Timor Timur) pernah diduduki Indonesia hingga akhirnya pada 30 Agustus 1999, negera itu melakukan pemungutan suara.
Dari pemungutan suara itu, 78,5% orang Timor Timur memilih melepas diri dari Indonesia dan memilih mendapatkan kemerdekaan.
Namun demikian, melansir The Guardian, perayaan di seluruh negeri berumur pendek.
Kelompok milisi yang didukung Indonesia yang telah meneror penduduk sebelum pemungutan suara meningkatkan serangan mereka, dibantu oleh pasukan keamanan Indonesia.
Kampanye kekerasan selama tiga minggu menewaskan 2.600 orang, hampir 30.000 orang mengungsi dan sebanyak 250.000 orang dikirim secara paksa melewati perbatasan ke Timor Barat Indonesia setelah pemungutan suara, yang merupakan kebijakan bumi hangus.
Pada tanggal 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian internasional pimpinan Australia, Interfet, tiba untuk memulihkan ketertiban.
Tapi kerusakan besar telah terjadi. Kota-kota dan desa-desa hancur dan infrastruktur vital hancur.
Xanana Gusmao dan para pemimpin pengasingan lainnya kembali segera setelah itu dan PBB menjalankan pemerintahan tiga tahun menjelang pemilihan parlemen dan presiden.
Pada Mei 2002, Xanana Gusmao dilantik sebagai presiden Timor Leste.
Melansir Intisari Online, meski pernah menjadi negara bekas koloni Indonesia, Timor Leste rupanya memiliki bahasa yang berbeda dengan Indonesia.
Walaupun Bahasa Indonesia juga dipakai di negara tersebut sebagai bahasa kerja, bersama dengan bahasa Inggris.
Tetapi bahasa resmi yang digunakan di negara Timor Leste adalah Tetum dan Portugis.
Di Timor Leste, terdapat total 16 bahasa asli, tetapi yang paling banyak dipakai yaitu Tetum, Galole, Mambae, dan Kemak, mengutip Facts and Details.
Menurut CIA World Factbook, Tetum menjadi bahasa yang digunakan paling luas di Timor Leste.
Berdasarkan sensus tahun 2004, 85% warga mengklaim kemampuan berbicara bahasa Tetum, 58% bahasa Indonesia, dan 21% bahasa Inggris.
Tetum sendiri dianggap sebagai bahasa yang tidak berkembang dan akhirnya seluruh bisnis resmi negara menggunakan bahasa Portugis, mengutip New York Times.
Kira-kira 13,5% warga Timor Leste berbicara Portugis, 43,3% berbicara Bahasa Indonesia, dan 5,8% berbicara Inggris.
Meski digunakan secara luas, tetapi hanya 46,2% berbicara Tetum Prasa, bentuk Tetum yang dominan di distrik Dili.
Tetum, Galole, Mambai, dan Tokodede, termasuk ke dalam bahasa Austronesian, sedangkan Bunak, Kemak, Massai, Dagada, Idate, Kairui, Nidiki, dan Baikenu adalah lidah non-Austronesian.
Lewat konstitusi negara, keragaman bahasa ini diabadikan, demi mencegah kerumitan bahasa.
Namun, pada akhirnya Tetum sendiri menjadi tidak berguna di luar Timor Leste.
Meski banyak dipahami oleh hampir seluruh warga Timor Leste dan menjadi bahasa perdagangan, namun kosa katanya sangat terbatas dan tidak dimengerti oleh mereka yang tinggal di luar pulau itu.
Sementara, walaupun bahasa Portugis hanya dipakai oleh 10% warga Timor Leste, namun bahasa ini lebih diperkenalkan lagi dalam pemerintahan, pengadilan, dan sekolah.
Sejarah bahasa Timor Leste
Tetum adalah Lingua franca (bahasa asli) dan bahasa nasional Timor Leste, yang merupakan bahasa Melayu-Polinesia yang dipengaruhi oleh bahasa Portugis, yang memiliki status yang sama sebagai bahasa resmi
Tetum telah menjadi bahasa asli Timor Leste sejak paruh kedua abad ke-19 dan menjadi bahasa sehari-hari di gereja.
Pada saat Timor Leste di bawah kekuasaan Portugis, semua pendidikan dilakukan melalui media Portugis, meski bersama dengan bahasa Tetum dan bahasa lainnya.
Secara khusus, Portugis mempengaruhi dialek Tetum yang diucapkan di ibu kota, Dili yang dikenal sebagai Tetun Prasa.
Ini merupakan lawan dari versi yang lebih tradisional berbicara di daerah pedesaan, yang dikenal sebagai Tetun Terik.
Tetun Prasa adalah versi yang lebih banyak digunakan, dan sekarang diajarkan di sekolah-sekolah.
Meskipun tidak lagi menjadi bahasa resmi, Bahasa Indonesia, bersamaan dengan bahasa Inggris, memiliki status 'bahasa kerja' di bawah Konstitusi.
Bahasa Indonesia juga masih digunakan secara luas, terutama di antara orang-orang muda yang dididik sepenuhnya di bawah sistem Indonesia, yang penggunaan bahasa Portugis atau Tetum malahan dilarang.
Bagi banyak orang Timor-Leste yang lebih tua, bahasa Indonesia memiliki konotasi negatif dengan rezim Suharto.
Tetapi banyak orang muda telah menyatakan kecurigaan atau permusuhan terhadap penggunaan kembali bahasa Portugis, yang mereka lihat sebagai 'bahasa kolonial' dengan cara yang sama seperti orang Indonesia melihat bahasa Belanda.
Sementara budaya dan bahasa Belanda memiliki pengaruh yang kecil terhadap budaya Indonesia, budaya Timor Timur dan Portugis menjadi saling terkait, terutama melalui perkawinan silang, seperti halnya bahasa.
Pemuda Timor Leste juga merasa dirugikan dengan penggunaan bahasa Portugis, dan menuduh para pemimpin negara itu menyukai orang-orang yang baru saja kembali dari luar negeri.
Orang Timor Leste yang lebih tua dan berbicara bahasa Portugis, tetap saja belum menemukan pekerjaan meskipun mereka mahir dalam bahasa tersebut.