Suar.ID -Pak Harto ternyata pernah punya trauma masa kecil dengan arit alias sabit alias clurit.
Kita tahu, arit sendiri merupakan lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak diberi napas sama sekali saat Orde Baru, zaman ketika Pak Harto berkuasa.
Kebetulan kah?
Seperti dilaporkan Majalah Intisari edisi Februari 2008 lalu, ada sejumlahpengalaman di masa kecil yang membuat Soeharto alias Pak Harto trauma.
Salah satunya menyebabkan suami Ibu Tien ini mengalami trauma arit.
Senjata tajam yang di kampung-kampung biasa dipakai untuk memotong padi atau rumput.
Sekali waktu, saat berumur tiga tahun, sepulang dari sawah, Soeharto bermain-main dengan arit.
Namun arit itu terlepas dari tangkainya, sehingga mengenai kaki kanan.
Akibat kejadian itu, kaki kanan Soeharto terluka.
Pengalaman lain menyebut, sekitar usia 5 tahun, ketika ibunya ke pasar, Soeharto ditinggal sendirian di rumah, dan diberi uang logam ½ sen.
Uang logam ½ sen itu dimain-mainkan, bahkan diemut oleh Soeharto, sampai tertelan.
Karena takut, Soeharto menangislamaaasekali.
Apalagi ia ditakut-takuti oleh anak-anak lain bahwa uang itu akan menyangkut di dalam perut dan tidak pernah keluar lagi.
Tidak jelas, apakah kemudian uang itu keluar atau tidak.
Soeharto pun tidak ingat apakah ia berhasil menemukan kembali uang tersebut.
Satu lagi pengalaman tidak menyenangkan, dialami ketika ia bermain bersama seorang saudaranya, Darsono, di depan rumah kakek buyutnya Notosudiro.
Waktu itu kakek buyutnya sedang membuat baju.
Soeharto kemudian dipanggil dan disuruh mengepas sebuah baju yang sedang dibuat.
Dengan senang hati dipakainya baju itu.
Namun ternyata baju itu bukan untuk dia, melainkan untuk Darsono.
Tak lama kemudian, ia disuruh melepas dan menyerahkan baju itu kepada sepupunya.
Padahal saat itu, Soeharto sendiri tidak memakai kemeja, ia hanya mengenakan celana.
Orang tua Darsono sebetulnya cukup mampu, kenapa dia yang justru diberi surjan oleh kakek buyut?
"Saya merasa nista, hina. Saya nelangsa, sedih sekali. Wah, hidup ini kok begini," Soeharto melampiaskan kesedihannya. (Dwipayana, 1989, hal 10).
(Seperti dimuat di MajalahIntisariedisi Februari 2008)