Suar.ID - Coronavirus dapat membunuh sebanyak tiga juta orang di Korea Utara dan Kim Jong-un tidak terlalu peduli dengan bencana kemanusiaan yang akan datang, kata seorang pembelotyang dikutip dari Mirror.co.uk.
Kim Myong memperkirakan bahwa korban tewas akibat Covid-19 di negaratertutup itu bisa menyaingi bencana kelaparan selama empat tahun yang dikenal sebagai "Arduous March".
Rezim Kim Jong-un hingga kini getol menegaskan bahwa negaranya bebas dari coronavirus - klaim yang ditolak oleh komunitas internasional.
Ada klaim yang belum diverifikasi bahwa Korea Utara mengeksekusi pasien koronavirus pertama yang dikonfirmasi oleh regu tembak dan sebuah laporan pada bulan Maret mengklaim Covid-19 mungkin telah menewaskan sekitar 200 tentara selama wabah besar.
Korea Utara mengklaim tidak memiliki kasus SARS-CoV-2 yang dikonfirmasi, tetapi mengatakan bahwa mereka terus melakukan pengujian dan memiliki lebih dari 500 orang yang di karantina, menurut Organisasi Kesehatan Dunia.
Pengamat percaya sistem layanan kesehatannya sangat tidak siap untuk virus corona baru dan telah menyatakan kekhawatiran bahwa wabah dapat menghancurkan negara itu - mengingat keadaan rumah sakit yang memprihatinkan, banyak warganya yang kekurangan gizi dan ekonomi lemah.
Myong berpendapat bahwa Korea Utara telah melakukan "kebohongan yang absurd" karena Kim Jong-un malahdengan santuy (santai) melakukan uji coba peluncuran rudal dan latihan militer.
Dalam sebuah artikel untuk Komite Hak Asasi Manusia, ia menulis bahwa jumlah sebenarnya dari infeksi dan kematian bisa "melebihi imajinasi".
Dia menambahkan, "Sistem perawatan kesehatan Korea Utara rapuh dan genting."
"Orang-orang Korea Utara telah lama dipengaruhi oleh kekurangan gizi kronis, kesehatan yang buruk dan kekebalan yang lemah."
"Konsekuensinya, tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa Korea Utara jauh lebih rentan terhadap Covid-19 daripada negara lain mana pun di dunia."
Myong memperingatkan bahwa jumlah korban yang tewas di Korut bisa sama dengan jumlah korban pada tragedi "Arduous March", juga dikenal sebagai "Pawai Penderitaan", di mana terjadi kelaparan massal antara tahun 1994 hingga 1998.
Dia tinggal di Pyongyang pada waktu itu dan menderita kekurangan makanan.
Diperkirakan sekitar tiga juta orang meninggal selama kelaparan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, salah kelola pemerintah, kekeringan dan banjir.
Kerawanan pangan masih menjadi masalah utama di negara itu.
Pada tahun 2019, PBB memperkirakan bahwa lebih dari 10 juta warga Korea Utara menderita kerawanan pangan yang parah.
Menanggapi wabah virus corona, yang dimulai di negara tetangga China, Korea Utara menutup perbatasannya dan memerintahkan semua orang asing di negara itu, kebanyakan diplomat, untuk mengisolasi diri selama berminggu-minggu.
Mereka juga meningkatkan kampanye propagandanya dengan laporan yang memuji kepemimpinan Kim.
Myong berspekulasi bahwa Korea Utara enggan mengatakan kondisi yang sebenarnya tentang coronavirus di dalam perbatasannya karena Korea Utara berusaha melindungi hubungan dengan China.
Dia berpendapat bahwaKim Jong-un menyembunyikan kebenaran tentang wabah itu seperti ayahnya, Kim jong-il, yang dulu pernah menyembunyikan kengerian kelaparan saat menjalani kehidupan mewah - dan menipu rakyatnya sendiri karena dia khawatir warga Korea Utara akan berbalik melawannya jika mereka tahu korban sebenarnya karena kurangnya pengujian dan perawatan yang tepat.
Myong menambahkan, "Kim Jong-un membiarkan ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu warga Korea Utara meninggal karena penyakit seperti budak yang tidak berharga dan itu tidak akan menjadi masalah."
"Baginya, menyaksikan begitu banyak orang mati akan lebih menyakitkan daripada tusukan jari yang menumpahkan satu tetesan darahnya sendiri."
Myong telah meminta komunitas internasional untuk menekan Korea Utara agar berbagi informasi yang transparan dan menerima bantuan asing yang diperlukan untuk menyelamatkan banyak nyawa.
Kim, sementara itu, telah mengawasi latihan militer lainnya, media pemerintah melaporkan pada hari Jumat.
Itu terjadi ketika parlemen negara itu, Majelis Rakyat Tertinggi (SPA), bersiap berkumpul untuk pertemuan tahunannya meskipun ada pandemi Covid-19.
Hampir 700 deputi dari seluruh Korea Utara biasanya menghadiri sesi tersebut.
Tetapi banyak pengamat menganggap SPA tidak berguna secara politik. (Adrie P. Saputra/Suar.ID)