Suar.ID - Peristiwa G30S/PKImemang menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia.
Selama bertahun-tahun, sekolah mengajarkan peristiwa itu adalah kudeta atau pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam peristiwa itu, enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD menjadi korban. Bahkan Ade Irma Suryani, putri Jenderal TNI AH Nasution juga menjadi korban.
Namun beberapa orang bertanya-tanya, kenapa Soeharto bisa lolos dari pembantaian PKI?
Seperti yang diketahui, saat itu Soeharto merupakan satu di antara jenderal yang lolos dari penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa G30SPKI
Soeharto lolos dari penculikan dan pembunuhan yang dilakukan pasukan Tjakrabirawa dalam tragedi G30SPKI.
Lolosnya Soeharto menimbulkan berbagai teori tentang dalang peristiwa G30SPKI.
Hingga timbul prasangka yang menduga bahwa Soeharto ikut bagian dalam peristiwa G30S/PKI dan pembantaian ratusan ribu orang yang menyusulnya.
Mengapa Soeharto tidak ikut diculik dan dibunuh oleh PKI seperti jenderal-jenderal lainnya?
Setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945, negara-negara pemenang saling bersaing memperebutkan pengaruh.
Di berbagai negara, persaingan yang dikenal dengan Perang Dingin ini membelah dunia menjadi dua.
Misalnya Uni Soviet dengan paham komunisnya.
Dan ada Amerika Serikat dengan paham kapitalisnya.
Di tahun 1960-an, Sukarno dan PKI condong ke Uni Soviet dan antibarat.
Sedangkan Dewan Jenderal diyakini sejalan dengan Amerika Serikat yang ingin menyingkirkan Sukarno.
Dari keyakinan ini, para perwira militer yang loyal kepada Sukarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.
Diantaranya Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Mereka mendapat dukungan Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI.
Daftar jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer.
Simpatisan pro PKI itu berencana "menculik" para jenderal dan membawanya ke hadapan Presiden Sukarno.
Ternyata rencana ini gagal total.
Persiapan tidak dilakukan dengan matang.
Para jenderal justru dibunuh.
Dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief bercerita alasannya tidak memasukkan nama Soeharto.
"Kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Latief juga melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.
Langkah mengejutkan ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.
Latief menyebut sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.
Menurut Latief, Soeharto ketika itu hanya bergeming mendengar informasi itu.
Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto memilih mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.
Soeharto mengakui ia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S.
Namun dirinya memberikan kesaksian yang berganti-ganti. Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.
Soeharto saat itu tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas.
Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, justru akan membunuhnya saat itu juga.
"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.
Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.