"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."
"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki.
Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"
"Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang.
Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,"
"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu.
Waktu Malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia
Setelah 20 tahun berlalu atau tahun 2019, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta.
"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia
Amelia juga mengaku pernah ikut serta dalam kontestasi politik di daerah Purworejo, Jawa Tengah. Namun demikian, ia gagal dan kembali pada aktivitas menulisnya.
"Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk. Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis,"