"Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?" ungkap Amelia.
Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.
"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air." Begitu pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.
"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot." Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia.
Amelia juga menuturkan bahwa ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.
Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.
"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis."
"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"
"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.
Untuk mengobati luka batinnya, Amelia Yani sempat pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 1998.
Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci.