Sturgis, yang meninggal pada 1993, mengatakan kepada Vanity Fair bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Oswald, walaupun namanya ditemukan di buku telepon si pembunuh.
Sturgis juga menyebut Lorenz sebagai pembohong yang melebih-lebihkan. Lebih dari itu, Sturgis juga menyebutnya sebagai perempuan yang rela melakukan apa pun demi uang.
Meski demikian, artikel di Vanity Fair itu menyebut bahwa semua yang disampaikan Lorenz terkait tragedi Dallas benar adanya.
Limabelas tahun kemudian, ketika Lorenz dipanggil untuk bersaksi di depan House Select Committee on Assassinations, ia memberi tahu komite apa yang ia tahu tentang perjalanan ke Dallas itu.
Tapi kesaksian itu tidak bisa dijadikan pedoman.
“Lorenz telah memberikan informasi di masa lalu, beberapa di antaranya dapat diandalkan, bagaimanapun, ia memang punya kecenderungan untuk membesar-besarkan,” tulis majalah itu mengutip laporan FBI tahun 1980-an.
Dalam upaya menemukan Perez Jimenez supaya mau mengasuh putri mereka, Monica, Lorenz terbang ke Venezuela. Di sana petugas intelijen militer sudah menunggunya.
Petugas itu kemudian menerbangkannya ke bagian terjauh dari hutan hujan Venezuela, menurunkannya, dan terbang lagi.
Lorenz bilang bahwa ia “dibuang” untuk tinggal bersama suku Yanomami selama delapan bulan.
“Saya masih menangis saat memikirkan pesawat yang terbang itu,” katanya—meskipun hidupnya di sana sangat indah dibanding di Amerika.
Tak butuh lama, Lorenz sudah bisa mengadopsi kebiasaan suku itu. Ia mandi di sungai Orinoco dan berburu piranha.
Ia membuat keranjang dengan para perempuan suku itu, memilih buah beri, mengingu monyet dan kura-kura, dan bahkan punya gebetan, seorang pria manis bernama Catchu.