Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:
Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa ratus orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini.
Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua.
Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu. Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal London mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia.
Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa bcrlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.
Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal.
Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menggelap, sedang laut agaknya makin berombak, hujan abunya makin deras.
Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimkan sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tak ada jawaban apa-apa.
Lalu kapten memerintahkan agar diturunkan sekoci kapal, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.
Lampu pelabuhan mnenyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung.
Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras.
Hujan batu apung membara dan abu panas