Kisah Garuda Indonesia GA421 Bertaruh Nyawa saat Mendarat Darurat di Sungai Bengawan Solo

Jumat, 09 November 2018 | 12:22

Pesawat Garuda Indonesia.

Suar.ID – Banyak kejadian tentang kecelakaan pesawat terbang membuat orang takut untuk naik pesawat.

Sebagian orang malah menghindari penerbangan karena merasa kalau ini adalah jenis transportasi yang tidak aman.

Tapi sebenarnya kecelakaan transportasi apa pun tak bisa menjamin keselamatan sebab itu adalah musibah dan tak seorang pun tahu kapan terjadinya.

Memang kemungkinan selamat dari sebuah kecelakaan pesawat cukup kecil angkanya. Namun tidak ada yang tidak mungkin.

Baca Juga : Maia Estiaty Akan Gelar Resepsi Pernikahan di Gelora Bung Karno, Sudah Booking Tanggal? Ini Kabar Terbarunya!

Ada juga pesawat yang terpaksa melakukan pendaratan darurat tapi banyak yang selamat. Contohnya kecelakaan pesawat di bawah ini.

Enam belas tahun yang lalu, tepatnya pada 16 Januari 2002, pesawat Boing 737-700 milik maskapai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA421 melakukan ditching atau mendarat di atas air.

Dilansir dari kompas.com pada tahun 2017, pesawat ini mendapat di anak sungai Bengawan Solo.

Penyebab pendaratan darurat tersebut dikarenakan kedua mesin pesawat mati saat ingin menembus badai hujan dan es.

Baca Juga : Menjelang Mati Kucing Selalu Menyembunyikan Diri, Ini Alasannya

Saat itu, pesawat dengan rute Lombok – Yogyakarta tersebut membawa 54 penumpang dan enam orang awak kabin.

Seluruh penumpang selamat karena pilot, Kapten Abdul Rozak, berhasil mendaratkan pesawat dengan baik. Namun satu awak kabin ditemukan tewas. Diduga akibat benturan saat pesawat mendarat.

Menurut laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA.

Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki.

Baca Juga : Inilah Savannah F1 Kucing Termahal di Indonesia, Harganya Rp350 Juta

Pesawat Garuda Indonesia.

Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB.

Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten Rozak memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.

Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir. Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.

Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).

Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.

Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.

Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).

Setelah dilakukan pemeriksaan, ada kerusakan di hidung dan mesin pesawat.

Peristiwa itu pembelajaran penting untuk dunia penerbangan, khususnya pabrikan mesin pesawat, cara membaca radar, dan pelatihan mendaratkan pesawat di atas air.

Baca Juga : Konser Gun N' Roses: Cerita Pengemudi Go-jek Dapat Tiket Gratis, Padahal Sudah Nabung Rp1 Juta Hasil 'Ngojek'

Editor : Aulia Dian Permata

Sumber : Intisari

Baca Lainnya