Suar.ID -Bagaimana Perjuangan Warga dan Tentara Gali Sumur Tua Belasan Meter Tempat Pembuangan Jenderal Usai G30S/PKI di Lubang Buaya?
Pada1 Oktober 1965 dini hari, Indonesia diguncang peristiwa penculikan 6 orang perwira tinggi dan 1 orang perwira pertama Angkatan Darat yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
Kudeta gagal itu menyebabkan gugurnya sejumlah perwira tinggi AD, anggota Brimob, serta putri AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Jasad 6 orang perwira tinggi dan 1 orang perwira pertama Angkatan Darat ditemukan di dalam sumur tua yang dikenal dengan nama lubang buaya.
Dua jenderal yang gugur ditembak saat diculik di rumah dinasnya.
Myat mereka diseret ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya.
Jenderal TNI Abdul Haris Nasution berhasil meloloskan diri.
Meskipun, kakinya terkena peluru.
Hal initertuang dalam buku biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), selain tujuh perwira tinggi dan menengah itu, pasukan yang ditugaskan menculik jenderal itu juga menembak mati Aipda Karel Satsuit Tubun (anggota Brimob yang bertugas di rumah Wakil Perdana Menteri II Dr J, Leimena).
Ade Irma Nasution, putri bungsu AH Nasution, juga menjadi korban.
Ia meninggal dunia akibat tembakan personel pasukan Pasopati Tjakrabirawa.
Di luar Jakarta, oknum pasukan Batalion L juga menculik Brigjen TNI Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas) dan Kolonel Raden Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Kodam VII/Diponegoro) dari rumah dinas masing-masing.
Mereka berduadisiksa dan dibunuh.
Lalu, mayat mereka dimasukkan ke sebuah lubang di tengah rawa di belakang Markas Batalion L di Kentungan, sekitar 6 kilometer sebelah utara Kota Yogyakarta.
Mayat para jenderal itu ditemukan di lubang buaya pada 3 Oktober 1965 tengah malam.
Proses pengangkatan jenazah yang telah membusuk itu baru selesai keesokan harinya, pada 4 Oktober 1965.
Sehari setelahnya,pada 5 Oktober 1965, jenazah para jenderal dan Kapten Tendean dimakamkan dalam upacara militer di Taman Makam Pahlwan, Kalibata.
Ternyata, tidak mudah bagi RPKAD untuk menemukan jasad para pahlawan revolusi itu.
Mereka hanya mempunya informasi dan kesaksian Agen Polisi Dua, Sukitman, yang sempat diculik pasukan Pasopati ketika berpatroli tanggal 1 Oktober 1965 subuh di dekat rumah DI Panjaitan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sukitman yang berhasil lolos dari sekapan penculiknya mengabarkan, para jenderal dibawa ke Desa Lubang Buaya.
Saat itu, wilayah yang kini masuk Jakarta Timur ini masih sepi dan berupa kebun serta hutan, termasuk hutan karet.
Hanya ada 13 rumah yang terpencar jauh satu sama lain dan satu sumur tua.
Kondisi itulah dimanfaatkan para simpatisan PKI.
Mereka menjadikan tempat itu sebagai basis berkumpul serta mengusir warga.
Apalagi, Sukitman tak tahu persis tempatnya.
Dibantu warga, pasukan RPKAD yang dipimpin Letda Sintong Panjaitan, Komandan Peleton 1/A Kompi Tanjung, Minggu, 3 Oktober 1965, menyisir seluruh tempat yang ada.
Beberapa kali mereka menemukan gundukan tanah yang diduga sebagai timbunan baru, tapi gagal.
Baru setelah itu, ada seorang warga menunjukkan tempat lain di bawah pohon pisang, berupa sumur tua yang sudah ditimbun dan disamarkan.
Yusuf adalah salah satu warga yang ikut menemukan dan menggali sumur maut itu.
Kala itu, Yusuf masih berusia 16 tahun.
Ia merupakan anggota hansip di Desa Lubang Buaya.
Kesaksian Yusuf ini diceritakan kembali kepada Drs. Imam Wardoyo dan Suharjo yang mewawancarainya pada 11 Juni 1999 di Kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Video wawancara eksklusif ini diupload ke Youtube oleh Channel Kurator Museum.
Dalam wawancara itu, Yusuf bercerita, awalnya dia diminta lurah untuk membantu membetulkan jembatan.
Ia sama sekali tak tahu, tugas yang dijalaninya ini akan tercatat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia.
Dengan membawa cangkul, Yusuf bergegas naik ke mobil pak Lurah yang menjemputnya.
Mereka pun menuju lokasi.
Ia kaget saat tiba di lokasi, melihat banyak tentara bersenjata dengan baret merah.
Ia pun melihat tujuh kawannya sedang memacul kebun.
“Disitu saya lihat ada bang Ambar Suparyono, Mahmud, Mawih, saya dateng ama Pane,” ucap Yusuf dalam video itu.
Yusuf bersama delapan orang, diperintahkan menggali beberapa tempat yang mencurigakan.
Hingga kemudian, mereka menemukan sebuah lokasi mirip sumur.
Namun, ditanami pohon pisang.
Di situ, juga ditemukan sayuran, potongan kain merah, kuning, hijau.
“Terus ada serombongan datang bilang, persisnya di sumur ini,"
"Saya gak tau siapa, berpakaian tentara, ada juga pakaian coklat, enggak tau siapa,” imbuhnya.
Usaha Yusuf bersama temannya terus menggali sumur tersebut, sampai akhirnya waktu gelap.
Di antara mereka pun sudah ada yang hampir pingsan.
Lantaran, mereka kelelahan dan tak makan ataupun minum.
“Mawi dari bawah (sumur) udah lemes setengah pingsan, kita dari siang kan,"
"Namanya minum makan enggak, tentara juga enggak, sama,” jelasnya.
Setelah hampir jam 11 malam, galian sumur terus menemukan sampah berupa daun kering, abu, potongan bujur, kayu kecil hingga sampah basah lagi.
“Dan dari kejauhan, kita melihat panser masuk (ke lokasi),"
"Pasukan item-item, pasukan katak terus melakukan penggalian."
"Kemudian kita mendengar, melihat beberapa petugas tadi yang jalan-jalan cari air cuci tangan basah karena lumpur, kabarnya ngangkat mayat,” tandasnya.
Para tentara akhirnya pergi dari Lubang Buaya usai menemukan mayat tujuh jenderal yang sebelumnya dibuang ke sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat itu, Yusuf dan teman-temannya tak tahu, sumur yang mereka gali itu adalah tempat pembuangan jasad enam jenderal dan satu pamen korban keganasan PKI.
Yusuf hanya ingat ada kejadian menarik.
Lantaran, salah satu dari temen Yusuf harus menyumpal hidung dengan bubuk kopi.
Bahkan, ada juga temannya yang kesurupan.
Kawan Yusuf yang bernama Pane terus menangis setelah menemukan potongan tubuh mayat.
Dalam buku biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) dikisahkan, saat RPKAD bersama warga melakukan penggalian, ditemukan timbunan dedaunan segar, batang pohon pisang dan pohon lainnya.
Mereka semakin yakin, lubang itu adalah lubang jenazah para jenderal ditimbun.
Pasalnya, mereka menemukan potongan kain yang biasa digunakan sebagai tanda oleh pasukan Batalion Infanteri 454/Banteng Raider dari Jawa Tengah dan Batalion Infanteri 530/Raiders dari Jawa Timur.
Namun ketika kedalaman sudah 8 meter, tercium bau busuk.
Malam tanggal 3 Oktober 1965 semakin larut.
Namun seketika, seorang personel RPKAD berteriak.
Lantaran, ia menemukan kaki yang tersembul ke atas dari dalam timbunan.
Sintong Panjaitan meminta penggalian terus dilakukan.
Hingga akhirnya, jenazah para jenderal terlihat agak jelas di kedalaman 12 meter.
Temuan itu langsung dilaporkan kepada Lettu Feisal Tanjung, Komandan Kompi Tanjung Batalion 2 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Kemudian, diteruskan kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.
Baca Juga: Saksi Hidup G30S/PKI di Lubang Buaya Mengaku Masih Trauma, Apa yang Sebenarnya Terjadi?