Manfaatkan Artificial Intelligence, Mahasiswi Ini Sukses Kendalikan Sampah Makanan Tingkat Rumah Tangga, Temuannya Diganjar Predikat Prestesius

Jumat, 16 September 2022 | 18:20
Dok. Prasmul

Manfaatkan artificial intelligence, mahasiswi Prasmul menemukan solusi jitu dalam mengatasi sampah makanan yang dihasilkan rumah tangga.

Manfaatkan artificial intelligence, mahasiswi Prasmul menemukan solusi jitu dalam mengatasi sampah makanan yang dihasilkan rumah tangga.

Suar.ID -Tanpa disadari, sampah makanan, termasuk sampah makanan rumah tangga, ternyata memicum problem besar bagi dunia.

Kabarnya, sampah makanan menyumbang 10 persen emisi gas rumah kaca yang sekarang jadi persoalan di muka bumi ini.

Tapi apakah persoalan ini bisa diatasi?

Seorang mahasisiwa dari Universtas Prasetya Mulya (Prasmul) ternyata punya jawabannya.

Menurut Direktur Riset dan Inovas Prasmul Dr. Stevanus Wisnu Wijaya, sampah makanan yang membusuk di tempat pembuangan akhir ternyata merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan.

"Karena iamenghasilkan bau dan gas metana yang dapat merusak lapisan ozon," katanya, di Jakarta.

Mengacu data Bappenas,emisi dari sampah makanan mencapai 1.702,9 metrik ton ekuivalen karbon dioksida.

Jika dihitung-hitung, angka itu setara dengan 7,29 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.

Fakta itulah yang mendorong Prasmul, bersama sejumlah kampus lain di dalam dan luar negeri, berkolaborasi membentuk konsorsium bernamaIn2Food.

“Konsorsium ini menjadi wadah untuk mengembangkan kolaborasi, inisiatif, dan ide dari berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan aneka solusi bagi masalah sampah makanan,” kata Wisnu.

Tahun ini,konsorsium In2Food, yang terdiri atas Universitas Prasetiya Mulya, Universitas Katolik Parahyangan, Binus University, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Ma Chung, Ghent University, Tampere University, dan Hotelschool The Hague, menggelar rangkaian acara untuk menjaring berbagai ide dan inisiatif manajemen sampah makanan.

Acara yang digelar di Bali pada Agustus lalu itu diikuti oleh puluhan peserta dari universitas anggota konsorsium.

“Konsorsium In2Food merupakan proyek kolaborasi antardisiplin ilmu dari sejumlah kampus yang didanai oleh Erasmus+ CBHE Program Uni Eropa sejak 2021. Sejak tahun lalu kami telah menggelar berbagai seminar dan penelitian terkait masalah sampah makanan,” kata Wisnu.

Pada tahun ini, kegiatan yang diadakan In2Food banyak melibatkan mahasiswa.

Sepeti International Student Conference, International Summer School di mana mahasiswa mendapatkan beasiswa penuh dari Erasmus+ CBHE Program Uni Eropa.

Dalam konsorsium tersebut setiap kampus datang dengan keunggulan masing-masing.

Universitas Prasetiya Mulya, misalnya, mengunggulkan bidang teknologi digital.

Secara internal, Wisnu menambahkan, Prasetiya Mulya sendiri sejak 2019 telah memperbarui sejumlah mata kuliah di kampus dengan memasukkan sudut pandang food waste management.

“Sehingga kurikulum kami align dengan program bersama konsorsium," tegasnya.

Dalam perhelatan Food Waste to Finish (FWTF) Summer School Program ini Prasmul mengirimkan lima mahasiswa perwakilan untuk beradu konsep dan merancang kolaborasi dengan peserta dari kampus lain.

Sebelumnya, mereka telah mengikuti seleksi di tingkat kampus.

"Setiap peserta dipilih dari latar belakang keilmuan berbeda, ada yang dari jurusan teknologi bisnis, software engineering, ekonomi bisnis, matematika terapan, bisnis teknologi pangan, dan jurusan bisnis," katanya.

Acara FWTF sendiri digelar di Bali pada 14-27 Agustus.

Selama itu, para peserta mengikuti berbagai rangkaian acara seperti diskusi, seminar, hingga presentasi konsep.

Dalam acara ini, salah satu konsep usulan yang diusung mahasiswa Prasmul bersama peserta dari kampus lain terpilih sebagai usulan solusi terbaik.

Konsep ini bernama “Ibu Foodies” yang diusung Ni Putu Mas Swandewi dari Program Studi Software Engineering.

Konsep ini, menurut Swan--panggilan akrab Swandewi, berfungsi sebagai alat bantu pencegahan munculnya sampah makanan di tingkat rumah tangga.

“Aplikasi ini bisa membantu para ibu untuk mencatat dan merencanakan belanja mereka. Di dalamnya terdapat teknologi artificial intelligence yang berguna untuk memindai aneka jenis sayur yang dibeli pengguna," katanya.

"Nantinya aplikasi mobile ini dapat menentukan usia sayur tersebut, sehingga pengguna tidak akan membiarkan bahan makanannya membusuk dan menjadi sampah.”

Pada acara FWTF, konsep Swandewi itu kemudian berkembang menjadi lebih luas.

Di sana, bersama anggota tim dari universitas lain, Ibu Foodies berkembang menjadi sebuah platform edukasi sosial.

“Semangatnya masih sama, yakni mencegah timbulnya sampah makanan. Namun lewat platform ini kami merancang program edukasi bagi para ibu-ibu untuk mengenal lebih jauh bahan makanan yang biasa mereka beli.”

Lewat program edukasi “Turn That Veggie Waste Into Delicious Taste” ini, ujar Swan, peserta diajak untuk memanfaatkan sisa sayuran yang biasa terbuang untuk diolah kembali jadi makanan yang tak kalah lezat dan bernutrisi, atau ditanam kembali sehingga dapat tumbuh dan menghasilkan.

“Kami spesifik memilih segmen ibu-ibu karena kami menganggap mereka punya kekuatan untuk jadi agen perubahan khususnya jika menyasar food waste dalam skala rumah tangga. Kami berharap, jika semakin banyak ibu-ibu yang mendapat edukasi soal manajemen sampah makanan ini, maka perubahan besar yang kita harapkan bisa tercapai.”

Untuk tahap awal, program edukasi yang dijalankan Swan dan kawan-kawan menggandeng Komunitas Ibu Pembelajar Indonesia yang anggotanya sudah mencapai ribuan di berbagai daerah.

Anggota komunitas ini pun terbilang cukup melek dengan teknologi dan memiliki keinginan belajar yang cukup tinggi.

Lewat komunitas ini, Swan berharap pemahaman soal manajemen sampah makanan bisa menyebar luas.

“Kami juga sudah merancang purwarupa situs Internet yang di dalamnya berisi aneka informasi, edukasi, serta yang terpenting, resep-resep makanan dari bahan-bahan pangan yang selama ini kerap terbuang, seperti misalnya kulit pisang.”

Tag

Editor : Moh. Habib Asyhad