Suar.ID - Indonesia pernah mengalami peristiwa sejarah yang memilukan.
6 Jenderal dan 1 perwira menjadi target penculikan olehkelompok bersenjata.
Para jenderal dan perwirakemudian dibunuh dengansadis.
Para korbandituduh akan melakukan kudeta terhadap presiden RI pertama, Soekarno.
Partai Komunis Indonesia (PKI), disebut sebagai dalang di balik kejadian tragis tersebut.
Orang-orang yang berada di balik peristiwa itu mengatasnamakan tindakan mereka sebagai Gerakan 30 September (G30S).
Gerakan itu dilakukan dengan dalih sebagai upaya melindungi Presiden Soekarno dari kudeta yang diduga direncanakan oleh Dewan Jenderal.
Vincent Bevins dalam bukunya The Jakarta Method (2020) menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965.
Pada malam itu, orang-orang yang tergabung dalam G30S berkumpul di Halim Perdanakusuma.
Mereka berada di bawah komando Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief.
Di Halim Perdanakusuma, G30S kemudian dibagi menjadi tujuh tim yang semuanya merupakan anggota militer.
Masing-masing tim diberi misi untuk menculik jenderal-jenderal yang diduga akan melakukan kudeta.
Namun G30S tidak sepenuhnya berhasil.
Dari tujuh jenderal yang menjadi target, satu orang berhasil lolos.
Dia adalah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Para jenderal itu rencananya akan dihadapkan ke Soekarno.
Pada dini hari 1 Oktober, mereka dibawa ke Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.
Setelah itu, sebagian pengikut G30S berangkat menduduki Lapangan Merdeka.
Salah satu dari mereka kemudian pergi ke Istana Merdeka untuk melapor kepada Soekarno bahwa mereka telah menangkap jenderal-jenderal yang diduga merencanakan kudeta.
Namun, Soekarno tidak ada di tempat.
Salah satu ajudan Soekarno, Kolonel Bambang Widjanarko, menuturkan keberadaan Bung Karno pada saat G30S terjadi dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno (1998).
"Tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 23.00, seperti biasa setelah seluruh acara hari itu selesai, saya melaporkan urutan acara untuk keesokan harinya tanggal 1 Oktober 1965 dan mohon petunjuk BK (Bung Karno) apakah ada perubahan-perubahan yang ia kehendaki," tulis Bambang.
Bambang menyebutkan, salah satu jadwal Bung Karno pada 1 Oktober 1965 yang masih diingatnya adalah pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri Leimena dan Pangad Jenderal Ahmad Yani.
Keesokan paginya, seusai mengikuti gladi resik peringatan HUT ABRI di Parkir Timur Senayan, Bambang tidak menemukan Soekarno setibanya di Istana Merdeka.
Belakangan, ia mendengar dari Kolonel Sumirat dan AKBP Mangil Martowidjojo (sesama pengawal Presiden) mengenai keberadaan Bung Karno.
"(30 September) BK menginap di rumah Ibu Dewi (Ratna Sari Dewi), Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto."
"Kurang lebih pukul 06.00 BK dengan diantar Pak Mangil dan anggota Kawal Pribadi meninggalkan rumah Ibu Dewi menuju Istana Merdeka," tulis Bambang.
Dalam perjalanan menuju Istana Merdeka, Soekarno berpindah haluan ke rumah istri keduanya, Haryati, yang berada di Slipi.
Bung Karno berpindahhaluan karena mendapat kabar bahwa Istana Merdeka telah dikepung pasukan tak dikenal.
Menurut Bambang, pada pagi hari 1 Oktober 1965, Istana Merdeka dikelilingi pasukan bersenjata lengkap dengan kain berwarna kuning melingkar di leher.
Dari Slipi, Bung Karno kemudian mendapatkan saran agar mengungsi ke Halim Perdanakusuma.
Bambang sendiri mengaku tidak tahu saran kepada Soekarno itu berasal dari siapa.
"Saya tidak tahu benar siapa yang menyarankan itu dan bagaimana proses sebelum saran itu disampaikan," tulis Bambang.
Seelah sampai di Halim Perdanakusuma, Bung Karno diterima Panglima Angkatan Udara Omar Dhani, dan ditempatkan di rumah seorang perwira tinggi.
Baca Juga: Menewaskan 6 Jenderal dan 1 Perwira, Inilah Kronologi Peristiwa Gerakan 30 September (G30S)