Suar.ID -Trauma G30S/PKI Belum Hilang, Begini Pengakuan Saksi Hidup di Lubang Buaya Pada 1965.
Peristiwa Gerakan 30 September alias G30S merupakan peristiwa sejarah kelam yang pernah dialami bangsa Indonesia.
Peristiwa itu adalah tragedi penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu kapten yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September.
Para jenderal tersebut difitnah telah melakukan makar terhadap Presiden Soekarno dan menggabungkan diri sebagai Dewan Jenderal.
Jenazah mereka ditemukan di dalam sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965.
Tragedi nasional itu mengawali serentetan peristiwa besar di Indonesia.
Salah satunya, tumbangnya pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Ir Soekarno.
Kemudian Presiden Soeharto, selaku pemerintah pada masa orde baru, memerintahkan pembangunan Monumen Pancasila Sakti untuk memperingati peristiwa G30S yang tidak dapat memecah kesaktian Pancasila.
Monumen tersebut mulai dikerjakan pada pertengahan Agustus 1967.
Kemudian, diresmikan Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1973, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Monumen tersebut dibangun dekat dengan tempat eksekusi korban G30S, yaitu sumur tua di Lubang Buaya.
Peristiwa makar terhadap negara pemberontakan Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI masih menyisakan luka mendalam bagi Yasin (71).
Yasin (71) adalah saksi sejarah kelam Gestapu yang sampai saat ini masih hidup.
Ia menceritakan rasa trauma yang kini dialami warga Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat peristiwa Gestapu terjadi, Yasin masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar.
Penggerebekan yang dilakukan anggota PKI bersenjata ke perkampungan membuat warga ketakutan.
"Penggerebekan besar-besaran membuat trauma warga sekitar," kata Yasin mengisahkan pengalamannya kepada Tribunnews.
Yasin menuturkan, pada zamannya, warga kampung tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut dia, saat itu sulit membedakan mana PKI dan mana Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
"Orang kampung di sini ibaratnya bodoh dan tidak mengerti persoalan begitu," ucap Yasin yang dulunya berprofesi penjual papan penggilasan.
Ia tidak menampik, banyak warga yang dihasut untuk menjadi anggota PKI.
Namun menurutnya, tidak ada satupun warga yang menyiyakan ajakan itu.
"Yang dicari apa, saya juga tidak tahu,"
"Orang kampung saat itu sangat takut,"
"Kondisi ekonomi juga sulit, berbeda dengan sekarang," ujarnya.
Yasin menjelaskan, sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI menggelar beberapa persiapan.
Salah satunya, melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Gerwani adalah organisasi wanita yang menjadi sayap PKI.
Gerwani berdiri pada 4 Juni 1950 di Semarang, Jawa Tengah.
Pada 1957 saja, organisasi Gerwani telah memiliki lebih dari 650.000 anggota.
Pada1963, total anggota Gerwani melonjak menjadi 1,5 juta orang.
Lalu pada 1965, Gerwani telah memiliki sebanyak 3 juta anggota.
Akan tetapi, setelah Soeharto menjabat sebagai presiden, keberadaan Gerwani dilarang oleh Presiden Soeharto.
Hal ini dikaitkan dengan tuduhan atas keterlibatan sejumlah anggota Gerwani sebagai pembunuh para jenderal di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965.
Akhirnya pada 1965, organisasi Gerwani resmi bubar.
Yasin melanjutkan, sepengetahuannya, para pemuda yang bergabung ikut pelatihan militer PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur, bukan warga sekitar, alias bukan warga lokal Lubang Buaya.
"Mereka orang mana, kita juga tidak mengetahui,"
"Orang kita (Lubang Buaya) justru ketakutan," kata Yasin.