Suar.ID -Kejadian ini terjadi sekitar Agustus 2021 lalu.
ketika itu, sebanyak 705 warga Timor Leste dideportasi oleh pemerintah Indonesia melalui Pos Lintas Batas Negara Motaain, Belu, NTT.
Ratusan warga Timor Leste itu nekat menerobos perbatasan untuk masuk ke Indonesia.
Sebagian besar warga Timor Leste yang dideportasi itu adalah anggota sebuah perguruan pencak silat.
Mereka nekat lewati perbatasan untuk kepentingan pengukuhan menjadi anggota perguruan silat itu.
Ratusan warga Timor Leste itu dipulangkan secara bertahap.
Pertanyaannya, kenapa mereka nekat terobos perbatasan hanya untuk latihan silat?
Ternyata, seperti dilaporkan Kompas.com, Timor Leste tak mengizinkan diadakannya kegiatan bela diri pencak silat dan sejenisnya.
Itulah kenaparatusan anak-anak muda itu datang ke Persaudaraan Setia Hati Terate di Atambua.
Sekadar informasi, jarakAtambua-Dili sendiri sejauh 60 kilometer atau 5 km dari perbatasan Motaain-Batugade.
Mereka diduga datang lewat "jalur tikus", baik darat maupun laut sepanjang garis batas Timor Leste dan Kabupaten Belu.
Sesampainya di NTT, mereka kemudian menetap di Atambua tanpa dokumen apa pun.
Saat diperiksa, mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian.
MenurutSiprianus Berek (45) tokoh pemuda Atambua, jalur tikus itu sering digunakan untuk aktivitas ilegal.
Banyak barang-barang diseludupkan antarnegara, mulai dari sepeda motor, sapi, minyak tanah, bensin, hingga barang elektronik.
Tapi dia mengakui, aktivitas ilegal itu kini tidak seramai dulu.
Kami, "Sekarang jarangmendengar penangkapan pelaku atau pengungkapan kasus penyelundupan barang-barang dari Indonesia ke Timor Leste melalui jalur tikus itu," katanya.
"Mungkin pengamanan di sepanjang garis batas sudah ketat atau bisa jadi aktivitas itu berkurang akibat pandemi."
Siprianus juga bilang,ramainya jalur tikus tersebut dipicu karena warga antarkedua negara yang masih berkerabat.
Banyak warga Belu, Malaka, hingga Timor Tengah Utara memiliki adat, budaya, dan tradisi yang sama dengan warga Timor Leste.
Contohnya, ada warga Timor Leste bernama Agustinho da Cruz (27), masuk ke Malaka secara ilegal.
Dia punya istri warga Malaka dan telah memiliki seorang anak.
"Agustinho nekat masuk secara ilegal dengan alasan ingin menjadi warga negara Indonesia, mengikuti istrinya," ujarnya lagi.
Apa yang dikatakan Siprianus diamini oleh Dandim 1605 Belu,Letkol (Inf) Wiji Untoro.
Dia bilang, di Timor Leste belum punya organisasi perguruan silat seperti PSHT yang bisa menghimpun mereka.
Untuk mengikuti kegiatan organisasi, mereka terpaksa datang ke Indonesia.
Hanya saja mereka masuk secara ilegal sehingga harus dideportasi.
Menurut Dandim, persoalan pokok sampai mereka keluar dari negaranya itu karena negara belum menyiapkan wadah resmi bagi mereka.
Selama organisasi resmi belum ada di Timor Leste maka sampai kapan pun mereka tetap datang ke Indonesia.
Ia mengatakan kedatangan WNA ke Indonesia seharusnya menguntungkan bagi Indonesia karena mereka juga melakukan aktivitas ekonomi seperti membeli ayam, pakaian, dan makan.
Namun ia menegaskan jika kedatangan mereja harus melalui jalur resmi termasuk melengkapi dokumen sebagai syarat untuk melintasi batas negara.
Sementara itu dikutip dari pemberitaan Kompas.com tahun 2013, Pemerintah Timor Leste melarang seni bela diri pencak silat diajarkan di negaranya.
Larangan tersebut dilakukan setelah terjadinya rangkaian tindak kekerasan yang melibatkan anggota perguruan tersebut.
Ketika itu setidaknya ada 12 warga Timor Leste terbunuh dan 200 lainnya cedera dalam persaingan antarpara anggota perguruan pencak silat dalam dua tahun terakhir.
Hal ini diungkapkan oleh kepala polisi Timor Leste yang saat itu dijabat oleh Armando Monteiro.
"Semua anggota perguruan silat yang menentang keputusan pemerintah akan berurusan dengan hukum," kata Monteiro kala itu.
"Kami tidak lagi bertoleransi terhadap kegiatan bela diri di negara ini."
Pencak silat memiliki sejarah panjang di Timor Leste sejak masih menjadi wilayah Indonesia pada 1975.
Saat itu banyak anggota perguruan silat yang pada masa lalu mendukung gerakan kemerdekaan Tinor Leste.
Tapi para anggota perguruan ini kemudian saling bersaing dan saling bunuh sejak meningkatnya suhu politik di negera tersebut pada 2006.
Pencak silat kemudian dilarang di Timor Leste.
Namun bela diri lainnya seperti karate, kungfu, taekwondo, dan judo masih oleh diajarkan.
Pada tahun 2013, pemimpin Timor Leste, Xanana Gusmao juga telah melontarkan masalah persaingan dua perguruan pencak silat yang sudah sampai tahap mengkhawatirkan.
Kala itu ia telah meminta mereka tetap beraktivitas dengan damai sesuai filosofi ajaran bela diri tersebut.
"Tidak ada ampun lagi dan saya sudah kehilangan kesabaran," kata Xanana.
"Saya tidak akan mengizinkannya lagi."
Dia juga meminta anggota militer dan polisi yang berlatih bela diri ini untuk keluar atau dipecat.
Polisi mengatakan, beberapa perguruan memang menyatakan telah membubarkan diri, tetapi para anggotanya secara diam-diam masih melakukan praktik latihan pada malam hari.