Suar.ID- Sebagian besar masyarakat yang tinggal dan dibesarkan di Jawa biasanya masih percaya adanya larangan membuat hajatan pernikahan di Bulan Suro.
Bulan Suro sendiri merupakan nama lain dari Bulan Muharram yang jatuh di awal tahun Hijriyah.
Tahun ini, awal bulan Muharram jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021.
Dengan demikian, di tanggal tersebut sampai sebulan ke depan, sebagian besar masyarakat Jawa biasanya tidak lagi menggelar hajatan pernikahan.
Mitos menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro seringnya dikaitkan pada nasib buruk yang akan mengancam di masa depan.
Namun kali ini, seorang budayawan menjelaskan sisi baik atau hikmah dari kepercayaan ini.
Penasaran sisi baik dari mitos larangan ini? Kira-kira apa ya?
Jika dilihat dari sudut pandang agama, semua hari adalah hari yang baik dan tak perlu percaya pada hari atau bulan khusus yang dianggap tak baik.
Meski begitu, tradisi dan kepercayaan beragam manusia memang menarik untuk dipahami lebih jauh.
Terkait mitos larangan menikah di bulan Suro atau Muharram sendiri ternyata memiliki alasan tersendiri.
Dikutip dariTribun Travelyang melansirIntisari, salah satu pengamat budaya Jawa memberikan penjelasan lebih detil.
"Budaya Suro bisa dianggap bulan spiritual sehingga waktunya untuk ibadah dan membersihkan dari sifat, sikap, watak nafsu angkara, aluamah, sufiyah, mutmainah, dan bisa dianggap sebagai bulan rehat dan refleksi renungan."
"Bukan untuk membuat hajat yang berdampak pada pengeluaran keuangan terlalu banyak," jelas Han Gagas.
Artinya, di bulan spiritual ini sebaiknya masyarakat memanfaatkannya untuk lebih memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian.
Seperti beribadah, merehatkan diri dari hingar-bingar dunia, atau merenungkan kehidupan agar berjalan lebih baik.
Sementara itu, menggelar pernikahan atau jenis hajatan lainnya hanya akan mendorong seseorang mengeluarkan biaya yang banyak.
Tidak hanya bagi yang menggelar hajatan, tetapi juga bagi para tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut.
Oleh sebab itu, di bulan Muharram, masyarakat bisa 'beristirahat' dari pengeluaran biaya untuk hajatan yang biasanya tak sedikit.
Han Gagas menyebut bulan Suro ini sebagai 'let' atau jeda bagi orang-orang agar tidak terlalu boros dalam membelanjakan uangnya untuk hajatan.
"Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang (memberi sumbangan), nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif."
Nah, ternyata begitu hikmah di balik mitos larangan menggelar hajatan pernikahan di bulan Suro. Bijaksana sekali ya?