Suar.ID -Gus Dur disebut punya cara mengatasi akar persoalan di Papua dengan cukup jitu.
Akhir 2008 LIPI menerbitkan sebuah buku.
Judulnya, "Papua Road Map".
Buku ini berisi hasil pemetaan masalah utama di Papua.
Dalam buku itu,LIPI menyebut ada tiga hal yang menjadi pokok persoalan di Papua: marjinalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM.
Tak haya politik dan ekonomi, marjinalisasi juga diskriminasi yang dialami oleh orang Papua juga menyangkut persoalansosial-budaya.
Sementara itu,belum ada pelanggaran HAM yang diselesaikan secara adil.
Termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara.
Alissa Wahid, putri Gus Dur, sekaligus Koordinator Jaringan Gusdurian mengatakan, Gus Dur sejatinya punya warisan dalam menyelesaikan persoalan di Papua.
Menurutnya, pria yang gemar sepakbola ituselalu mengedepankan dialog dalam menangani masalah di sana.
Maka dari itulah, Alissa berharap, pendekatan yang sama juga dilakukan pemerintah sekarang untuk mengatasi persoalan di Papua.
"Teladan ini perlu dicontoh sehingga warga Papua tidak lagi diperlakukan secara diskriminatif, didengar aspirasinya, serta dihargai martabat kemanusiaannya," ujar Alissa melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/8/2019).
Ketika masih hidup,Gus Dur selalu memberi contoh tentang kepedulian akan situasi di Papua.
Gus Dur disebut selalumengedepankan dialog dengan melibatkan kepala suku dan tokoh agama dengan prinsip partisipatif.
Tentu saja tanpa kekerasan dan mengutamakan keadilan.
Salah satu contoh yang dikemukakan Alissa adalah saatGus Dur mengembalikan nama Papua sebagai nama resmi.
Juga mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora sebagai bendera kebangaan dan identitas kultural masyarakat Papua.
Upaya tersebut merupakan bagian dari pendekatan dialog yang dilakukan oleh Gus Dur.
"Gus Dur selalu mengedepankan dialog dan pelibatan tokoh-tokoh non-formal, misalnya kepala suku dan pemimpin agama dengan prinsip partisipatif, non-kekerasan, dan adil," kata Alissa.
Jaringan Gusdurian menyadari sepenuhnya bahwa selama ini Papua sebagai tempat yang memiliki kekayaan alam melimpah justru menjadi kawasan yang tertinggal di Indonesia.
Oleh sebab itu, keadilan dan perlakuan yang tidak setara masih terjadi di Papua hingga sekarang.
Dialog yang Setara
Alissa juga menegaskan, masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama warga negara Indonesia.
Ia mengatakan, penyelesaian segala perbedaan harus dilakukan berdasar kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan.
"Masyarakat Papua harus dihargai martabatnya sebagai sesama anak bangsa Indonesia yang mempunyai hak yang sama dan setara," tutur dia.
Peneliti LIPI Adriana Elisabeth sependapat.
Ia menyarankan pemerintah membuka dialog yang selama ini tidak pernah dibicarakan bersama masyarakat Papua.
Dialog dapat menjadi alat untuk mempertahankan suasana tetap damai.
"Jadi untuk jangka panjangnya, berdialoglah tentang apa yang selama ini menjadi ketidaksukaan Papua, atau ketidaksukaan non-Papua kepada Papua. Itu kan harus dibicarakan," ujar Adriana.
Tidak dipungkiri, kerusuhan di Manokwari merupakan buntut aksi protes dari persekusi dan diskriminasi yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur.
Oleh karena itu, Andriana mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati dalam menyampaikan label Identitas.
"Karena isu soal identitas itu sangat sensitif apapun agama, suku dan sebagainya, itu dan ini masih masuk dalam pesan intoleransi."
"Jadi hati-hati kalau tidak dikelola dengan baik, orang akan mudah marah dan mudah tersinggung," kata dia.
Pada Rabu (21/8/2019) terbetik kabar aksi demo akibat kecewa terhadap insiden yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang beberapa waktu lalu yang berujung rusuh meluas di sejumlah wilayah di Papua Barat.
Awalnya aksi berlangsung tertib di Mimika, Papua Barat, Rabu (21/8/2019).
Namun beberapa saat kemudian, massa menjadi beringas.
Massa mulai melempari aparat polisi dan TNI yang mengawal aksi.
Massa juga merusak mobil polisi dan pemadam kebakaran. Bahkan, terlihat seorang petugas kepolisian terluka akibat lemparan batu.
Hingga kini, kerusuhan masih berlangsung di Mimika.
Berdasarkan pantauan jurnalisKompas.com, Isrul, di lapangan, ribuan demonstran yang berunjuk rasa di halaman gedung DPRD Mimika merusak berbagai fasilitas umum, antara lain gedung DPRD Mimika, bangunan di sekitar gedung DPRD hingga mobil yang berada di jalan.
"Selain itu, massa juga memblokade jalan Cendrawasih," kata Isrul via sambungan telepon. Kerusuhan bermula saat massa menggelar unjuk rasa memprotes dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.
Aksi demo di Fakfak diwarnai pembakaran Pasar Tambaruni dan Kantor Dewan Adat.
Sementara sejumlah jalan raya diblokade.
Sejumlah kios tutup sehingga pusat perekonomian terhenti.
Bahkan, menurut kesesaksian seorang warga, massa sempat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Pihak kepolisian setempat mengerahkan personel Brimob untuk memulihkan keamanan di wilayah tersebut.
Kabid Humas Polda Papua Barat AKBP Mathias Krey mengatakan, saat ini Kapolres Fakfak bersama aparat TNI dan Polri sudah berada di lokasi guna mengamankan massa.
"Mudah-mudahan situasi di Fak fak segera kondusif seperti halnya di Manokwari dan Sorong," kata AKBP Krey seperti dikutip dariantaranews.com, Rabu (21/8/2019).
Krey mengatakan, dari laporan terakhir, kondisi di Fakfak masih terkendali dan berharap masyarakat dapat menahan diri dan tidak melakukan tindakan anarkistis.
Menurut Krey, Kepolisian Daerah Papua Barat akan mengirim personel Brimob ke Fakfak dari Makassar yang jumlahnya sekitar 100 personel.
"Memang kami sudah minta bantuan dan akan segara dikirim personel Brimob dari Makassar," kata dia.