Suar.ID - Siapa yang tidak ingin kaya raya?
Hampir semua orang tentu ingin kaya raya dan memiliki banyak uang.
Nah, di zaman sekarang, jika mereka kaya raya, banyakdi antaranya yangmemamerkan kekayaan mereka di media sosial.
Ada beberapa artis yang mau memperlihatkan isi saldo ATM mereka. Atau kadang barang-barang mahalnya.
Tentu tidak masalah. Selama itu adalah harta mereka.
Namun tahukah Anda, sikap seseorang yang memamerkan kekayaan mereka di media sosial justru tak benar di mata ahli?
Ya, dilansir darikompas.compada September 2017 silam, ahli sosiologi Rachel Sherman mengatakan denganharta yang dimilikinya, orang-orang kaya memang bisa membeli apa yang ia inginkan berapa pun harganya.
Tetapi, orang kaya biasanya merasa malu jika label harganya terlihat orang lain.
Apa yang Rachel katakan sesuai dengan hasil analisisnya setelah mewawancari 50 orangtua di New York dengan pendapatan minimal Rp4 miliar pertahun.
Salah satu kesamaan yang ia temukan dari orang-orang kaya itu adalah mayoritas akan merobek label harga barang yang ia beli sehingga orang lain tak tahu berapa uang yang ia belanjakan.
Dalam esai yang dimuat diNew York Times, Sherman menulis tentang seorang wanita yang setiap tahun menghasilkan Rp4 miliar dan mewarisi kekayaan keluarga beberapa juta dollar, selalu membuang label harga baju yang baru dibelinya sehingga nanny-nya tidak sampai melihatnya.
"Seorang desainer interior yang saya kenal juga bercerita, salah satu kliennya selalu menyembunyikan harga barang-barang yang ia beli.”
“Semua barang furnitur yang datang ke rumahnya juga harus dihilangkan agar staf di rumah tidak melihatnya," katanya.
Kebiasaan itu menunjukkan pola yang lebih besar, orang kaya itu menganggap dirinya normal, dan merasa canggung dengan hasil belanjannya karena tidak mau dianggap kaya.
Dalam hal kekayaan atau harta, orang-orang kaya itu juga tidak pernah menunjukkan bahwa ia "kaya" atau "kelas atas".
Menurut Sherman, mayoritas lebih suka istilah "nyaman" atau "beruntung".
Sebagian orang kaya juga mengelompokkan dirinya ke dalam "kelas menengah" atau "di tengah", karena mereka membandingkan dirinya dengan orang yang lebih kaya lagi.
"Orang-orang yang saya wawancara itu tidak pernah membual tentang harga yang mahal.”
“Mereka justru bersemangat bercerita ketika berhasil menawar harga barang, memberi pakaian di tempat biasa, atau naik mobil tua," katanya.
Apa yang Sherman temukan itu sejalan dengan yang dituliskan Thomas C.Corley dalam bukunya "Rich Habits".
Ia melakukan wawancara selama 5 tahun dengan para milyuner untuk mengetahui kebiasaan yang membuat mereka menjadi kaya.
Secara umum, Corley menemukan bahwa orang kaya ingin dianggap sebagai sesuatu yang normal dan mereka ingin lebih dermawan.
(kompas.com/Lusia Kus Anna)