Suar.ID - Seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) rela banting tulang jadi kuli bangunan untuk membantu ekonomi orangtuanya.
Bahkan ia tak malu menekuni profesi yang kebanyakan dilakoni oleh pria.
Bila anak-anak sebayanya menghabiskan waktu dengan bermain dan berenda gurau, maka berbeda dengan Zahra.
Gadis remaja itu lebih sering mengikat besi bangunan.
Pekerjaan berat ini Zahra lakoni demi membantu sang ibu, Lela, agar keluarga mereka bisa tetap melanjutkan hidup.
Dikutip dari Kompas.com, Lela dan empat anaknya berbagi atap yang sama di sebuah gubuk berukuran 3x2 meter yang hanya diterangi lampu teplok.
Tempat tinggal mereka di Desa Uteun Kot, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh itu hanya memiliki satu ruangan yang dipakai untuk dapur sekaligus ruang tamu.
Lela – yang merupakan seorang ibu tunggal – mengatakan ia bekerja serabutan.
Setiap hari, dia menjadi buruh cuci.
Ia mendatangi rumah ke rumah.
Uang itu digunakan untuk biaya sekolah empat buah hatinya, yakni Zahra kelas 3 SMP, Sucila Iqomah kelas 1 SMP, dan Wahyuda kelas 1 SD. Anak tertuanya, Ilham Hidayat telah tamat SMA.
Namun, uang hasil pekerjaannya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya anaknya.
Untuk itulah anak keduanya, Zahra, memeras keringat demi keluarganya.
Zahra, pelajar kelas 3 SMP Negeri 5 Lhokseumawe, terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan di Kota Lhokseumawe.
Padahal, di Aceh, perempuan yang menjadi kuli bangunan adalah hal langka.
Namun, ia membuang perasaan tersebut demi bisa melanjutkan hidup.
Tak cuma itu. Ia terpaksa melupakan hari-hari indah di sekolah layaknya pelajar kebanyakan.
“Saya sering tidak masuk sekolah. Maka, saya bekerja, ikat besi bangunan rumah, dan lain sebagainya. Terpenting uang harian saya bisa bantu orangtua, sebagian buat sekolah saya dan dua adik. Abang saya sudah tamat SMA satu orang,” tuturnya.
Kisah Zahra dan keluarganya ini menjadi viral di media sosial. Banyak orang tersentuh untuk meringankan beban mereka.
Pihak sekolah membantu rehab rumah Zahra dengan biaya seadanya.
“Rumah yang dibangun dewan gurunya Zahra itu adalah tanah desa. Saya tak punya tanah sama sekali,” katanya.
“Sampai sekarang kami belum terima bantuan pemerintah,” imbuh dia.