Suar.ID -Perjalanan ibadah haji sekarang berlipat-lipat jauh lebih baik dibanding dulu.
Konon kabarnya, jemaah haji yang sudah sampai kota Mekah, tidak langsung pulang setelah ibadah dilaksanakan.
Biasanya ibadah haji diiringi oleh aktivitas lain. Berguru dan menuntut ilmu agama, misalnya.
Asal tahu saja, perjalanan haji pada masa lalu menyimpan banyak cerita.
Pada masa itu, berhaji merupakan perjalanan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mapan secara ekonomi.
Perjalanan yang dilalui dari Indonesia menuju Tanah Suci juga tak mudah.
Jalur laut menjadi pilihan utama, karena perjalanan haji via udara baru berlaku tahun 1952, dengan tarif yang dua kali lebih mahal daripada dengan menggunakan kapal laut.
Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 1800-an? Kala itu, sistem perjalanan haji diatur oleh pemerintah Kolonial.
Haji pada Masa Kolonial
Pada abad 18, sistem ibadah haji dikuasai dan dikelola oleh pihak kolonial.
Selain itu, mereka melakukan kontrol terhadap sistem perhajian pada masa itu.
Henru Chambert-Loir pernah menulis secara khusus ibadah haji zaman kolonial dalam buku babonnyaNaik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890.
Dalam buku itu dia menulis, Gubernur Jenderal Daendles menetapkan, demi keamanan dan ketertiban, para jemaah haji harus mengantongi dokumen perjalanan selama bepergian ke Tanah Suci.
Pada 1825, calon haji harus membeli sebuah paspor dengan harga 110 gulden di Kantor Bupati. Angka ini termasuk mahal pada masa itu.
Sementara, secara tak resmi, Bupati ditugaskan untuk memperlambat arus haji.
Pada 1859, kebijakan kolonial berubah lagi.
Jemaah calon haji yang akan bertolak ke Tanah Suci harus melapor kepada bupati terkait dan menunjukkan uang yang cukup untuk membiayai perjalanan dan kehidupan keluarganya di rumah.
Hal itu menjadi syarat untuk mendapatkan paspor.
Syarat kedua, setelah jemaah haji kembali, ia harus menghadap Bupati lagi untuk menunjukkan bahwa dirinya telah ke Mekkah.
Jika tidak, akan dikenakan denda sebesar 25-100 gulden dan tidak diperbolehkan menyandang gelar haji.
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh kolonial ini seringkali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Calon jemaah haji kadang diberikan kelonggaran.
Perjalanan laut
Pada masa ini, berlayar dari Indonesia menuju Arab Saudi membutuhkan waktu sekitar enam bulan.
Kondisi jemaah calon haji dalam kapal sangat memprihatinkan karena mereka menggunakan kapal barang (kargo) bukan kapal penumpang.
Jemaah calon haji diberikan tempat khusus dalam ruang gudang (palka) dengan masing-masing berukuran 1-1,5 meter persegi.
Ratusan jemaah yang ditampung dalam satu kapal berdesak-desakan.
Penyediaan makanan dalam kapal terkadang juga menemui kendala. Selain makanan dicuri oleh tukang masak, ada juga jemaah yang tidak mendapatkan makanan.
Oleh karena itu, banyak yang mengambil inisiatif masak sendiri.
Selain soal makanan, kondisi di lautan juga berpengaruh terhadap calon haji. Risiko karam dan serangan perompak menjadi hal yang ditakutkan jemaah.
Pada 1893, kapal samoa yang dikontrak salah satu penyelenggara haji di Hindia Belanda, firma Herklots membawa 3.600 jemaah dan melebihi kapasitas kapal.
Akibatnya, ketika badai menyerang, barang di atas kapal porak poranda dan 100 orang dinyatakan meninggal.
Setibanya di Tanah Suci, para jemaah juga menghadapi ancaman terjangkit wabah kolera.
Saat itu, banyak jemaah calon haji yang meninggal dunia karena minimnya antisipasi petugas kesehatan.
Akhirnya, diadakan karantina jemaah haji agar kesehatan jemaah lebih terjaga.
Pada 1903, karantina dikelola oleh tim Turki, Inggris, Perancis, dan Belanda yang tergabung dalam Internationale Gezondheidsraad bermarkas di Iskandariah, Turki.
Tim ini memberikan sistem pelayanan kesehatan bagi calon jemaah haji agar bisa menjalankan ibadah dengan baik.
Sistem karantina ini akhirnya diadopsi di Indonesia sekitar tahun 1970-an. (Aswab Nanda Pratama)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melihat Kisah Perjalanan Haji pada 1800-an...".