Suar.ID - Bukan psikopat, siswi SMP pembunuh bocah berpotensi idap sosiopat, apa itu?
Kasus siswi SMP membunuh bocah di Sawah Besar, Jakarta Pusat menyita perhatian publik.
Bagaimana tidak, pelaku NF (15) tak merasa bersalah dan justru puas dengan aksi sadisnya menghabisi nyawa APA (5).
Bahkan, setelah membunuh APA, NF secara tenang menyerahkan diri dan menceritakan detail perbuatan yang dilakukannya di hadapan polisi.
Perilaku janggal NF yang tak menunjukkan penyesalan ini pun membuatnya diduga memiliki ciri-ciri mirip psikopat.
Namun, alih-alih menyebutnya psikopat, psikolog Mellisa Grace menyebut gadis remaja ini berpotensi mengidap sosiopat.
Diungkapkan Melissa Grace dalam tayangan YouTube Apa Kabar Indonesia Pagi TvOne (8/3/2020).
Dalam tayangan tersebut, Melissa Grace menyoroti perasaan pelaku yang mengaku puas dan tidak merasa bersalah setelah melakukan pembunuhan.
Melissa Grace mengungkapkan, perasaan tidak bersalah itu merupakan ciri utama seseorang yang mengidap conduct disorder.
Perlu diketahui conduct disorder yakni pola perilaku pada seseorang yang dilakukan secara berulang, dan perilaku yang ditunjukan itu tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut oleh masyarakat atau atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk rata-rata seusianya.
Apabila dibiarkan, Melissa Grace mengatakan, perilau conduct disorder ini akan memicu sang anak mengidap sosiopat di usia dewasa.
Diketahui sosiopat ini merupakan perilaku antisosial yang ditunjukan dengan kurangnya empati terhadap orang lain.
Menurut psikolog Melissa Grace, hal tersebut tentu berbahaya bagi pertumbuhan anak dan kualitan hidup anak tersebut ketika dewasa nanti.
Baca Juga: Baru Menikah 3 Menit, Sang Istri Langsung Minta Cerai Karena Suaminya Lakukan Hal Sepel ini!
Lantas apa perbedaan psikopat dan sosiopat?
Menurut psikolog dari Sacramento County Mental Health Treatment Center, L. Michael Tompkins salah satu hal penting yang membedakan antara psikopat dan sosiopat adalah kesadaran yang dimiliki.
Seorang psikopat diketahui tidak memiliki kesadaran terkait baik dan buruk ini.
Dia bisa secara biasa melakukan hal buruk pada orang lain tanpa adanya rasa bersalah sama sekali.
Sedangkan pada sosiopat, kesadaran ini masih ada di dalam diri mereka walau sangat lemah.
Ketika melakukan hal buruk, dia tahu bahwa hal yang dilakukannya itu salah namun hal tersebut tak menghentikan perbuatannya.
Baik psikopat maupun sosiopat sama-sama tidak memiliki empati.
Namun, Aaron Kipnis, PhD mengungkap bahwa psikopat memiliki rasa empati yang lebih rendah dibanding orang lain.
Seseorang dengan kondisi ini cenderung melihat orang lain hanya sebagai obyek untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
Seorang psikopat bakal sangat sulit untuk diidentifikasi.
Mereka cenderung cerdas, memesona, dan pintar menirukan emosi.
Bisa saja mereka tampak peduli dan tertarik pada orang lain walau kenyataannya tidak.
"Mereka aktor yang hebat dengan tujuan memanipulasi orang demi keuntungan sendiri," terang Tompkins.
Sementara itu, sosiopat tidak bisa berpura-pura dengan emosi mereka.
Dalam kondisi ini, seseorang bakal menunjukkan ketika mereka tidak tertarik dengan orang lain.
Mereka bahkan akan menyalahkan orang lain dan beralasan terkait kepribadian mereka ini.
Beberapa pakar menyebut sosiopat berkepala panas dan pemarah karena bertindak tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Sedangkan psikopat cenderung dingin dan penuh perhitungan dengan hasil yang mereka inginkan.
Apakah pelaku bisa disembuhkan?
Dalam kesempatan yang sama, Melissa Grace mengungkapkan kesempatan kesembuhan bagi pelaku.
Mengingat usia pelaku yang masih anak-anak, Melissa Grace menyebut bahwa harapan kesembuhan itu masih ada.
"Bisa sembuh atau tidak? Sebenarnya kalau masih usia anak-anak, masih ada harapan," ungkap Melissa Grace.
Harapan kesembuhan itu pun tentu perlu penanganan yang tepat.
Tidak hanya terhadap pelaku, tetapi juga terhadap lingkungan di sekitar anak tersebut.
"Asalkan ada penanganan yang benar, bukan hanya terhadap anaknya tetapi juga terhadap lingkungannya," kata Grace.
Oleh karena itu, Melissa Grace menyebutkan pentingnya pemeriksaan psikologis terhadap pelaku.
"Jadi perlunya pemeriksaan psikologis itu begitu," kata Melissa.
Dalam pemeriksaan itu, Melissa menjabarkan bahwa sang psikolog akan mencari tahu faktor apa yang menyebabkan si anak bisa bertindak demikian.
Tak hanya itu, psikolog juga akan mencari tahu hal apa yang bisa mendukung anak tersebut untuk meninggalkan kebiasaan lamanya.
"Kita cari tahu dulu faktor-faktor resiko apa yang bisa berkontribusi, dan faktor-faktor apa yang bisa supporting dia supaya dia ke depannya bisa menjadi manusia yang lebih adaptif, yang lebih optimal," terang Melissa Grace.
Melissa Grace juga sangat menyayangkan ketika mengetahui kabar bahwa pelaku pembunuhan balita itu dikenal sebagai anak yang cerdas.
Ia sangat menyayangkan, kecerdasan anak tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal.
"Berdasarkan berita, anak ini cerdas. Jadi sayang sekali kalau potensinya tidak dimanfaatkan," kata Melissa Grace.
Artikel ini telah tayang di Tribunmataram.com dengan judul: POPULER Bukan Psikopat, Siswi SMP Bunuh Bocah Lebih Berpotensi Idap Sosiopat, Ada Ciri-ciri Menonjol