Bikin Ketar-ketir, Ini yang Bikin Para Begal Ketakutan Bukan Main di Era Kepemimpinan Presiden Soeharto

Minggu, 02 Februari 2020 | 14:30
PIXABAY/SKITTERPHOTO

Ilustrasi penembakan

Suar.ID - Pada 1 januari 1982, Presiden Soeharto secara khusus memberikan ucapan selamat kepada Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya (sekarang Polda Metro) Mayor Jenderal Anton Soejarwo.

Mayjen Anton dianggap berjasa karena Polda Metro berhasil membongkar kasus perampokan uang Rp 32 juta di Jakarta pada 30 Desember 1981 hanya dalam tempo 16 jam.

Pada tahun 1980-an di berbagai kota di Indonesia saat itu aparat keamanan memang sedang dibuat gerah oleh maraknya aksi preman jalanan yang populer dengan sebutan gabungan anak liar (gali) sehingga sampai menganggu roda perekonomian RI.

Misalnya, kawasan terminal sudah dikuasai para gali sehingga para penguasaha bus terus mengalami kerugian, banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan, dan lainnya.

Baca Juga: Saling Todong Pistol, Inilah Kisah Menegangkan Paspampres Era Soeharto yang Terlibat 'Insiden Kecil' dengan Pengawal Perdana Menteri Israel

Berdasar prestasi yang berhasil diraih Polda Metro maka Pak Harto lalu memerintahkan agar segera dibentuk tim yang beranggotakan aparat TNI/Polri (ABRI) untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis itu.

Hingga tahun 1982 Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan seperti Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 penjahat.

Meski sudah banyak penjahat yang diringkus operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi,

Kolonel Hasbi saat itu (1983) menyatakan perang terhadap para preman atau gali yang ulahnya makin meresahkan masyarakat Yogyakarta dengan cara menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen AD, AU, AL dan kepolisian.

Baca Juga: Jarang yang Tahu, Soeharto Ternyata Dulu Pernah Bekerja Serabutan hingga Bersihkan Selokan Air untuk Menyambung Hidup

Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para gali melalui operasi intelijen dan para gali yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.

Setelah mendapat kartu para gali tersebut dilarang bikin ulah lagi tapi juga harus mau memberitahukan para gali lain yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.

Para gali yang tidak melapor kemudian diburu oleh tim OPK Kodim untuk ditangkap dan bagi yang lari atau melawan akan langsung ditembak mati.

Mayat para gali yang ditembak mati dibiarkan tergeletak di mana saja dengan tujuan membuat jera (shock therapy) para gali lainnya.

Meski OPK yang digelar aparat keamanan di Yogyakarta sudah diketahui masyrarakat, setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, mayat dengan luka tembak itu kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus) yang kemudian istilah ‘petrus’ itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan.

Kinerja OPK yang dilaksanakan di Yogyakarta ternyata mendapat perhatian khusus dari Kepala Intelijen RI LB Moerdani dan dikomentari sebagai ‘kerja bagus dan lanjutkan!’.

Cara penanganan gali dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban ‘petrus’ pun bertumbangan di mana-mana.

Yang pasti OPK memang terbukti efektif menumpas para gali dan sebenarnya juga mendapat dukungan dari masyrakat luas.

Baca Juga: Setelah Tersimpan Sekian Lama Kini Terbongkar, Misteri Kematian Ibu Tien Soeharto Akhirnya Dibongkar oleh Sosok Ini, Begini Kesaksiannya

Hingga kini masyarakat kadang masih mengharapkan munculnya ‘petrus’ untuk menangani aksi kejahatan yang makin marak dan brutal.

Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, ‘petrus’ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.

‘Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,’ ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

(Sumber : Benny Moerdani Yang Belum Terungkap, Tempo, PT Gramedia 2015).

Editor : Adrie P. Saputra

Baca Lainnya