Suar.ID -Kisah ini terjadi 20 tahun yang lalu, sekitar Desember 1999.
"Yang... Aku sakit. Aku kangen kamu..." (suaralelaki).
"Kalau kamu sakit, siapa yang perhatiin saya?" (suara wanita).
"Yang... Aku ini sakit heneran. Apa rindu dan cinta?" (suara lelaki).
Penggalan percakapan itu terdengar dari kaset milik Cempaka, siswi kelas 2 di sebuah SMU di Surabaya, Jawa Timur.
Ini bukan rekaman dari sinetron ataupun sandiwara radio.
Menurut Cempaka, yang lelaki adalah suara ayahnya sendiri, dr. Subur Prayitno (saat itu 43).
Sedangkan wanitanya, dia yakini sebagai suara dr. Lilik.
"Saya kenali suara dr. Lilik karena saya, kan, kenal dengannya," katanya, seperti diceritakan Tabloid Nova, Desember 1999 lalu.
Rekaman itulah, menurut Cempaka, menjadi bukti kuat adanya perselingkuhan ayahnya dengan dr. Lilik.
Sebenarnya sudah lama ia mendengar kabar burung tentang hal itu.
Namun Cempaka cuek dan menganggapnya isu.
Bahkan Cempaka sempat menasihati Ny. June Herawaty (saat itu 43), ibunya agar tak ikut termakan isu itu.
Namun ketika kabar itu makin santer ditiupkan teman-teman kantor ayahnya, Cempaka akhirnya mulai percaya.
"Saya jadi panas juga, sih. Kesalnya, saya tak punya bukti," cetus Cempaka yang saat itu masih berusia 15 tahun.
Kesempatan untuk membuktikan kecurigaannya itu pun datang juga.
"Saya sebenarnya merekam pembicaraan telepon itu iseng saja."
Ceritanya, handphone Cempaka dipinjam ayahnya.
"Waktu saya mau jalan-jalan ke mal, telepon saya minta lagi dari Papa. Tapi tak dikasih. Alasannya dia sedang nunggu telepon seseorang," urai Cempaka.
Alasan itu amat aneh bagi Cempaka.
"Soalnya, di kamar Papa, kan, ada telepon. Ngapain harus nunggu di handphone. Saya jadi curiga," kata Cempaka.
Kecurigaannya makin menjadi karena Papa sedang sakit.
"Katanya kena tifus dan sudah dua minggu Papa mengurung diri di kamar, tak mau diganggu."
Sejak itu, Cempaka jadi "tertantang" ingin membuktikan kebenaran isu selingkuh ayahnya.
Caranya?
"Saya kebetulan pernah belajar cara merekam pembicaraan lewat telpon dari teman saya. Caranya, pasang telepon paralel di kamar lain, lalu pasang alat perekam khusus untuk telepon," urai Cempaka.
Usaha Cempaka tak sia-sia.
Berikutnya ia berhasil menyadap pembicaraan ayahnya.
"Awalnya saya tidak tahu Papa ngomong dengan siapa. Apalagi bicaranya bisik-bisik dan mesra sekali."
Tapi setelah rekaman diputar berulang-ulang, Cempaka yakin itu pembicaraan ayahnya dengan Lilik.
Cempaka selanjutnya merekam pembicaraan ayahnya tiga hari berturut-turut.
Pedang ditodongkan ke leher
Beberapa hari kemudian, dia kembali memutar kaset hasil sadapan itu.
Ia makin percaya lawan bicara ayahnya adalah dr. Lilik yang sudah dikenalnya.
Hari itu juga, Cempaka menemui ayahnya.
Di depan ayahnya Cempaka menirukan dialog rayuan pada kaset itu.
Bahkan di depan ayahnya pula, Cempaka sengaja memutar kaset itu.
"Tujuan saya agar Papa menyadari perbuatannya," ujar Cempaka.
Melihat ulah anak sulungnya itu, dokter yang juga dosen di sebuah universitas di Surabaya ini kontan marah.
"Papa langsung minta kaset itu. Tapi saya menolak," cerita Cempaka.
Emosi Subur, kata Cempaka, makin meluap.
"Papa mengambil pedang dan ditodongkan ke leher saya, sampai kena kerah baju. Untung Mama datang dan melerai. Setelah itu Papa pergi dan sampai sekarang tak pulang-pulang lagi."
Cempaka dengan didukung ibunya, akhirnya memutuskan melaporkan kejadian itu ke polisi.
Mereka menilai perbuatan Subur sudah kelewatan.
Cempaka tak habis pikir kenapa ayahnya bisa setega itu padanya.
Menyusul peristiwa itu, Cempaka sempat mengakumalu pada teman-teman sekolahnya.
"Saya ingin pindah sekolah keluar kota saja," kata Cempaka, meski diakuinya banyak teman yang mendukung.
"Kata mereka, saya ada pihak yang benar," lanjut Cempaka.