Kok Ada Dokter Begini? Ada Pasien yang Tanya Berapa Tarif Berobatnya kok Malah Disemprot Habis-habisan, Dokter Lain Dilarang Tiru Caranya

Kamis, 24 Oktober 2019 | 18:00
Freepik

Ilustrasi dokter ikhlas

Suar.ID -Tidak banyak dokter seperti dia, seperti Dokter Aznan Lelo.

Dokter yang membuka praktik di Kota Medan, Sumatera Utara ini dikenal sebagai 'dokter ikhlas'.

Tak pasang papan nama, tak patok biaya, dokter yang juga merupakan guru besar farmakologi ini terkenal dengan resep-resepnya yang terjangkau masyarakat bawah.

---

Sebuah bangunan tua di kawasan Jln. Puri Medan, Kelurahan Komat, Kecamatan Medan Area, Medan, Sumatera Utara kerap didatangi orang‑orang yang mengendarai becak, sepeda motor, hingga mobil.

Mereka adalah pasien seorang dokter yang akrab disapa Buya.

Nama lengkap sang dokter dengan deretan gelarnya adalah Prof. Dr. Aznan Lelo Ph.D, Sp.FK.

Di kediamannya itu, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) ini membuka praktik tanpa memasang papan nama.

Kepada pasiennya dia tidak memasang tarif. Pasien membayar jasa konsultasi dan obat racikannya sesuka hati.

Resepnya untuk obat apotek pun terjangkau. Cukup fenomenal, kontras dengan umumnya dokter, apalagi di kota‑kota besar.

Biasanya praktik buka pukul 17.00 WIB. Ada pasien yang datang dan mendaftar sejak siang kemudian pergi, banyak pula yang datang langsung mendaftar dan menunggu giliran.

Ruang tunggu yang juga bagian dari garasi itu kadang dipenuhi pasien, sesuai giliran mereka masuk ke ruang praktik berukuran minimalis.

Di meja registrasi di ujung garasi itu disediakan amplop-amplop putih bergaris tepi biru-merah.

Pasien yang sudah sering datang tahu cara dan jumlah pengisian amplop untuk tarif "ikhlas hati" itu.

Dokter Aznan Lelo

Amplop yang sudah diisi dibawa masuk ke ruang praktik saat periksa, dan usai pemeriksaan ditinggal di meja dr. Aznan.

Bagi yang belum tahu dan menanyakan biaya, ada kalanya kena semprot kegusaran dan ketersinggungan Pak Dokter.

Kadang dr. Aznan memberikan obat hasil racikannya sendiri, kadang pula menuliskan resep.

Obat-obat yang dipilihnya pun generik, bisa diperoleh di banyak apotek dengan harga terjangkau.

"Beginilah Dokter yang Kita Inginkan"

Andi (30), seorang kontraktor yang tinggal di Jln. Eka Rasmi, Kelurahan Gedung Johor Medan, yang datang dengan mobil APV putih, mengatakan, alasan utama membawa tiga anaknya ke dr. Aznan bukan hanya karena sang dokter tidak mematok tarif.

Tapi ia betul-betul percaya pada kualitas dokter itu. Hari itu ketiga anaknya menderita batuk pilek.

"Tiga anak saya ini dulu punya penyakit kelenjar di lehernya. Dokter lain yang pernah saya datangi memvonis harus diambil tindakan medis. Tapi alhamdullillah, sama Buya tidak. Waktu itu pengobatannya selama enam bulan, dan radang kelenjar pada tiga anak saya sembuh," kata Andi.

Ia menuturkan, metode pengobatan yang dilakukan dr. Aznan sangat teratur dan bagus karena punya keahlian meracik obat.

"Kalau dokter lain resep obatnya mahal. Di sini obat yang diresepkan Buya relatif terjangkau dan kita bisa dapat di apotek mana saja. Komposisi obatnya saya rasa sangat tepat, karena beliau sendiri ahli farmakologi."

Sebagai pasien yang sudah sering berobat kepada dr. Aznan, Andi cukup tahu diri mengisi amplop.

"Saya sewajarnyalah, apalagi kalau anak kita sudah sehat, maka kalau ada rezeki kita tambah, kalau tak ada ya ala kadarnya," tutur Andi.

Ia menilai dokter Aznan juga rajin bersedekah.

"Karena sudah lama kenal, pernah juga membuka amplop dari pasien di depan saya.Saya lihat bahkan ada yang memberi Rp5.000. Pernah uang dari amplop pasien dibelikan durian untuk dimakan sama-sama," ujarnya.

Membandingkan dr. Aznan dengan dokter lain, Andi berkomentar, "Waduh, kalau di luar sana, untuk dokter anak saja sekali konsultasi bisa Rp200 ribu atau Rp250 ribu. Itu lain obat, ya. Terkadang ‘kan ada dokter yang komersil, diresepkan kepada kita brand tertentu yang susah kita cari, mau tak mau kita beli di apoteknya."

Pendapat senada diungkapkan Restu Damanik (30) warga Jln. Siriaon, Madala By Pass, Medan.

Anggota Tim Pengabdian Masyarakat USU, Prof dr Aznan Lelo Ph.D Sp.FK yang sekaligus menjadi pembicar

Restu, karyawan di PT Midea Elektronik, mengaku, pada 2005 divonis dokter THT (telinga hidung tenggorokan) mengidap polip pada hidungnya dan harus menjalani operasi kecil.

Dari temannya ia tahu praktik dokter Aznan, kemudian dia datangi.

"Alhamdullilah, setelah minum obat resep dari Buya, polipku sembuh dalam empat bulan."

Dari pengalamannya berobat ke dr. Aznan, Restu menceritakan, pasien datang dari pelbagai tempat. Dari Aceh, Sidimpuan (Sumut), Rantauprapat (Sumut), dsb.

"Ada pasien dimarahi. Dia nanya berapa biaya berobatnya, terus kena sental (dimarahi) sama Buya, ‘udah nggak usah bayar aja’, kata Buya," cerita Restu.

Menurut pengakuan Restu, sekali berobat ia memasukkan Rp25 ribu, kadang Rp30 ribu ke dalam amplop.

"Beginilah dokter yang kita inginkan, arif bijaksana, dan tidak komersil."

Praktik dokter Aznan selalu dipadati pasien yang jumlahnyamencapai seratusan.

Akibatnya ia sering harus membuka praktik hingga dini hari, terkadang sampai pukul 01.30.

Tentu sang profesor dibantu beberapa mahasiswanya yang sedang coass (magang dokter).

Setiap pasien yang akan masuk ruang praktik dipanggil oleh coass, terkadang istri Aznan, Yanti, juga turut memanggil.

Di dalam ruang praktik yang leluasa dilihat, rata-rata pasien diperiksa sekitar 5‑15 menit.

"Minimal sehari 30 pasien. Nggak ada saya pun 30 paling sedikit. Kalau saya ke luar kota, bila ada kejadian yang sulit, anak saya yang dokter bisa menghubungi saya. Pasien juga bisa bertanya langsung melalui telepon," kata Aznan.

Selain datang dari pelbagai daerah, pasien dr. Aznan juga beraneka jenis kelamin, tingkat usia, suku bangsa, dan agama.

Bahkan seorang biarawati Belanda pernah menjadi pasiennya. Soal bayarannya, Aznan mengatakan tidak penting.

Dia bilang, "Kalau dia mau datang jauh‑jauh jumpai aku, berarti kan dia menghormati aku. Bisa rupanya dibayar penghormatan itu?"

Kembali ke soal bayaran seikhlasnya tadi, dengan ekspresi datar Azlan mengatakan, "Ada Rp5000, lima ratus rupiah pun ada, yang kosong juga ada."

Apakah tidak merasa sakit hati dengan amplop kosong itu?

"Sama siapa aku harus sakit hati? Nggak mungkin. Bisa rupanya kutandai amplop ini dari si anu, ini dari si anu dari begitu banyaknya amplop tadi?" ia tersenyum.

Namun Aznan mewanti‑wanti tindakannya tidak perlu dicontoh oleh dokter lain.

“Kalau aku boleh kasih nasihat sama kawan‑kawan dokter, jangan tiru aku. Kalau pun mau kan sudah kujelaskan tadi, bahwa harus yakin dulu dengan keislaman. Bahwa Islam itu rahmatanlil al’amain (rahmat bagi seluruh alam).”

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya