Ditugasi Membunuh, Agen CIA Cantik Ini Malah Jatuh Cinta dan Hamil dengan Calon Korbannya, saat Usia Kehamilan Masuk Bulan ke-7 Jabang Bayi Hilang secara Misterius

Senin, 09 September 2019 | 14:07
Nypost

Marita Lorenz, agen CIA yang ditugaskan membunuh Fidel Castro yang justru jatuh cinta kepada Sang Comandante.

Suar.ID -Ini adalah cerita tentang seorang agen CIA cantik yang ditugaskan membunuh salah satu musuh utama Amerika Serikat di sekitaran Invansi Teluk Babi pada dekade 1960-an.

Sang musuh utama ini selalu muncul di tiap-tiap peristiwa penting.

Mulai dari pendirian komunis Kuba ke invasi Teluk Babi ke pembunuhan John F. Kennedy.

Dialah Fidel Castro.

Untuk meleyapkannya, CIA mengirimkan seorang agen cantik bernama Marita Lorenz.

Mudah ditarik kesimpulan Lorenz adalah sosok perempuan yang tertarik pada marabahaya.

Lorenz belum lama ini telah menulis sebuah buku tentang kehidupannya sebagai seorang jasus, sebagai seorang mata-mata.

Buku itu berjudul Marita: The Spy Who Loved Castro dan diterbitkan oleh Pegasus Books.

Buku ini setidaknya versi keenam dari kisah hidup Lorenz yang panas seperti roller coaster.

Ada total ada empat buku—termasuk yang terbaru—dan dua judul film.

Film ketiga yang dibintangi oleh Jennifer Lawrence rencananya akan dirilis pada 2018 nanti.

“Saya merasa terhormat,” kata Lorenz tentang film yang dibintang Lawrence itu.

“Saya ingin bertemu dengannya. Saya ingin berbicara dengannya secara intim tentang hidup saya.”

Lorenz muda hidup dengan serba dramatis. Dibesarkan di Jerman, ibunya adalah seorang Amerika anti-Nazi dan ayahnya adalah seorang kapten kapal pesiar Jerman.

Pada usia enam tahun ia dibuang ke kamp konsentrasi Bergen-Belsen bersama ibunya.

Dan saat dibebaskan setahun kemudian, ia diperkosa oleh seorang tentara Amerika yang tinggal tidak jauh darinya.

Duka yang merundung hidupnya di awal-awal itulah yang, mungkin, membuatnya “kebal” terhadap drama dan bahaya.

Ketika berusia 19 tahun, ia berada di atas kapal ayahnya di Pelabuhan Havana ketika dua kapal mendekat. Kapal itu dipenuhi pria-pria berjenggot menggunakan pakaian militer.

Salah satu dari mereka menarik perhatiannya. “Wajahnya memukau saya,” tulisnya.

Tak lain, sosok menarik perhatian itu adalah Fidel Castro, hanya sebulan sebelum mengambil alih Kuba dari Fulgencio Batista melalui Revolusi 26 Juli yang terkenal itu.

“Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama kali melihat tatapannya yang tajam, wajah yang mempesona, senyumnya yang jahat nan menggoda,” tulisnya.

“Saya Dr. Castro,” katanya. “Fidel. Saya Kuba. Saya datang untuk mengunjungi kapal besar Anda.”

Keduanya lalu bertukar pandang, dan beberapa saat kemudian, berpelukan—ini adalah awal dari affair yang akan mengubah jalah hidup Lorenz.

Castro memanggil Lorenz dengan sebutan “Alemanita”—Si Jerman Keci—dan begitu kembali ke Amerika, Castro mengirim pesawat pribadi untuk menjemputnya.

Lorenz kemudian tinggal di Kuba selama tujuh bulan, di pondokannya di Havana Hilton.

“Ia kekasih yang baik, penolong yang baik,” kenang Lorenz, kepada New York Post. “Ia suka menggenggam tangan dan memeluk erat-erat.”

Tak lama kemudian, Lorenz hamil, dan Castro sangat bahagia. Tapi saat usia kehamilannya menginjak tujuh bulan, sementara Castro dalam perjalanan, ia yakin ada seseorang yang memasukkan obat ke susu yang ia minum.

Dan ketika ia terbangun, bayinya sudah “hilang”, dan ia sendirian di sebuah kamar hotel yang gelap. Ia linglung.

Ia memutuskan kembali ke Amerika dan marah kepada Castro karena kehilangan anaknya.

Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada bayinya—entah dilahirkan paksa atau digugurkan.

FBI lalu mengunjunginya, dan memanfaatkan kemarahannya untuk keuntungan mereka.

Seorang agen bernama Frank Sturgis, yang ia temui di Kuba (seorang mata-mata yang ditangkap saat ramai-ramai Watergate), merekrutnya untuk ambil bagian dalam sebuah rencana untuk membunuh mantan kekasihnya itu.

Ia dikirim kembali ke Kuba untuk berbaikan dengan Castro. Ia dibekali dua pil khusus yang diklaim bisa membunuh Sang Comandante dalam dua jam.

Tapi sial. Saat Lorenz sampai ke Kuba, Castro tahu kenapa ia kembali.

Dengan cara yang dramatis, Castro mencabut pistolnya dari sarungnya dan memberikan kepadanya, dengan sinis.

“Tidak ada yang bisa membunuhku. Tidak akan pernah,” kata Castro.

Ia benar. Lorenz tidak melakukannya, bahkan membuang kedua pil itu bidet.

Lorenz bilang tidak akan pernah lagi merencanakan pembunuhan untuk ayah dari anaknya yang hilang itu.

Mereka kemudian bercinta, Castro cabut, Lorenz kembali ke Amerika Serikat.

Kembali ke Amerika, Lorenz kembali berurusan dengan FBI lagi—dan Sturgis—dan terlibat dengan orang-orang Kuba anti-Castro di Florida.

Lorenz kemudian bekerja sebagai mengirim senjata dan kurir untuk CIA di Everglades—menguji M16 dan tinggal di hotel bersama para pemberontak—dalam persiapan invasi Teluk Babi.

Misi itu dimaksudkan untuk menggulingkan Castro tapi berakhir dengan rasa malu untuk Amerika Serikat.

Alih-alih menggulingkan, gagalnya invasi justru semakin meningkatkan kadar kebencian kelompok anti-Castro kepada John F. Kennedy, yang dianggap telah mengabaikan mereka saat invasi berlangsung.

Setelah kegagalan itu, Lorenz segera dikirim untuk mengumpulkan dana dari seorang “pensiunan jenderal” untuk kepentingan kelompok anti-Castro.

Ia adalah Marcos Perez Jimenez, salah satu diktator Amerika Tengah yang paling represif pada abad ke-20, yang telah memimpin rezim Venezuela yang brutal, yang sedang tinggal di Miami.

Perez terpikat dengan pesona Lorenz dan mengajaknya untuk sekadar minum anggur. Perez terus menggoda tapi Lorenz terus menolak, tapi tidak berlangsung lama.

“(Berhubungan) seks dengannya tidak istimewa dan tidak enak,” tulis Lorenz.

“Tidak bisa dibandingkan dengan Fidel. Marcos bukan pencinta yang baik. Ia egois dan baginya, seks hanyalah sebuah fungsi…”

Meski begitu, Lorenz tetap menjadi kekasih Perez selama dua tahun.

Saat ia hamil lagi, ia sangat senang, tapi sebuah proses ekstradisi membuatnya gagal mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia.

Pengacara Marcos membuat Lorenz mengajukan hak asuh kepada Perez dalam upaya membantunya tetap tinggal di Amerika.

Tapi itu menjadi bumerang. Perez diekstradisi. Dan karena Lorenz secara publik menyebut Perez sebagai ayah putrinya, klausul kerahasiaan yang dipertahankan oleh Perez sebelum memberinya dana perwalian senilai 5 juta dolar AS telah dilanggar.

Artinya, Perez tidak akan mendukungnya lagi.

“Ia adalah pengacara yang goblok, seorang bocah kumuh, yang seharusnya saya tembak,” kata Lorenz belum lama ini, soal masa lalunya itu.

Dengan hilangnya sumber kehidupan, Lorenz kembali ke Sturgis. Ia pikir mungkin Sturgis bisa membawanya ke Perez.

Setelah kegagalan invasi Teluk Babi, kebencian kelompok anti-Castro kepada Kennedy terus memuncak. Dan lebih dari itu, mereka ingin Presiden AS itu mati.

Suatu malam, Lorenz menulis, mereka mulai menggambar lingkaran pada peta dan ia bisa melihat kelompok itu sedang mendiskusikan sesuatu di Dallas.

“Saya hanya berpikir bahwa ini adalah perjalanan baru untuk mengangkut atau mencuri senjata seperti banyak kelompok lain yang pernah dilakukan sebelumnya, walaupun saya tidak benar-benar mengerti mengapa mereka harus pergi ke Texas, dan saya juga tidak bertanya.”

Ada seorang anggota baru di antara mereka, dan Lorenz, entah kenapa, langsung tidak menyukainya. Menurutnya, ia sosok yang sombong. Namanya Lee Harvey Oswald.

Pada pertengahan November 1963, Sturgis memanggil Lorenz dan mengatakan bahwa sudah waktunya untuk melakukan perjalanan.

Kelompok anti-Castro, Sturgis, dan Oswald melompat ke dalam dua mobil yang penuh dengan senjata.

“Tidak ada waktu untuk berhenti dan tidur … semua orang tampak seperti zombi dalam perjalanan, bahkan ketika sedang dalam pengaruh kokain,” ujar Lorenz.

(Baca juga: Cerutu Kuba dari Taru Martani, Oleh-oleh Spesial untuk Penggemar Cerutu dari Yogyakarta)

Ketika akhirnya Lorenz bertanya ke mana akan pergi dan apa yang mereka lakukan, salah satu dari mereka menjawab: “Kita akan membunuh Kennedy.” Waktu itu Lorenz berpikir itu hanya bercanda.

Ketika sampai di Dallas, mereka memesan kamar hotel dan segera, seorang pria bertubuh gemuk muncul. Ia tampak seperti seorang gangster dan tidak mengerti kenapa Lorenz ada di sana.

“Apa yang dilakukan perempuan ini di sini?” laki-laki, yang ternyata bernama Jack Ruby itu, bertanya kepada Sturgis.

Pertanyaa itu membuat Lorenz dengan senang hati meninggalkan tempat itu dan langsung menuju bandara. Lebih lagi ia sudah kangen dengan putrinya.

Di tengah penerbangan, kapten pilot tiba-tiba memberi pengumuman bahwa pesawat yang mereka tumpangi telah dialihkan ke Newark karena ada keadaan darurat di Dallas.

Seketika Lorenz sadar, bahwa apa yang direncanakan teman-temannya tidak main-main.

“Oh, Tuhan. Semoga tidak jadi,” pikirnya saat itu.

(Dan kita tahu, Kennedy akhirnya tewas terbunuh oleh Lee Harvey Oswald. Dua hari setelah ia ditangkap, Oswald ditembak mati oleh Jack Ruby dalam siarang langsung televisi)

Sturgis, yang meninggal pada 1993, mengatakan kepada Vanity Fair bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Oswald, walaupun namanya ditemukan di buku telepon si pembunuh.

Sturgis juga menyebut Lorenz sebagai pembohong yang melebih-lebihkan. Lebih dari itu, Sturgis juga menyebutnya sebagai perempuan yang rela melakukan apa pun demi uang.

Meski demikian, artikel di Vanity Fair itu menyebut bahwa semua yang disampaikan Lorenz terkait tragedi Dallas benar adanya.

Limabelas tahun kemudian, ketika Lorenz dipanggil untuk bersaksi di depan House Select Committee on Assassinations, ia memberi tahu komite apa yang ia tahu tentang perjalanan ke Dallas itu.

Tapi kesaksian itu tidak bisa dijadikan pedoman.

“Lorenz telah memberikan informasi di masa lalu, beberapa di antaranya dapat diandalkan, bagaimanapun, ia memang punya kecenderungan untuk membesar-besarkan,” tulis majalah itu mengutip laporan FBI tahun 1980-an.

Dalam upaya menemukan Perez Jimenez supaya mau mengasuh putri mereka, Monica, Lorenz terbang ke Venezuela. Di sana petugas intelijen militer sudah menunggunya.

Petugas itu kemudian menerbangkannya ke bagian terjauh dari hutan hujan Venezuela, menurunkannya, dan terbang lagi.

Lorenz bilang bahwa ia “dibuang” untuk tinggal bersama suku Yanomami selama delapan bulan.

“Saya masih menangis saat memikirkan pesawat yang terbang itu,” katanya—meskipun hidupnya di sana sangat indah dibanding di Amerika.

Tak butuh lama, Lorenz sudah bisa mengadopsi kebiasaan suku itu. Ia mandi di sungai Orinoco dan berburu piranha.

Ia membuat keranjang dengan para perempuan suku itu, memilih buah beri, mengingu monyet dan kura-kura, dan bahkan punya gebetan, seorang pria manis bernama Catchu.

Tapi kebahagiaan itu sirna setelah ibunya berhasil menemukannya dan membawanya pulang ke Amerika.

Ketika sampai Amerika, ia “terjerumus” lagi. Melalui seorang teman yang beketulan berpacaran dengan anggota keluarga kriminal Colombo, Lorenz masuk ke dunia mafia.

“Meski tampaknya kontradiksi, saya merasa aman dengan mafia,” tulisnya. “Saya merasa bahagia dan santai untuk pertama kalinya dalam hidup.”

Kelompok mafia itu memanggilnya dengan “Mata Hari dari Karibia” dan begitu menghormatinya.

“Mereka menganggap saya bisa dipercaya dan mereka tahu saya bisa menyimpan rahasia,” tulisnya.

Dengan kelompok barunya ini, Lorenz mengunjungi banyak tempat, menari sepanjang malam, minum koktail dan vodka Kuba sebanyak-banyaknya.

Dari sinilah ia bertemu dengan seorang mafia Yahudi—anggota “Kosher Nostra”—bernama Eddie Levy. Tak lama kemudian, mereka pacaran.

(Baca juga: Bom Bikinan Rakyat Venezuela Ini Tidak Bikin Celaka, Cuma Malu. Ini Sebabnya.)

Tapi ketika mereka pelesir menggunakan kapal pesiar ke berbagai tempat, Lorenz marah dan bertemu dengan pria lain. Namanya Louis Yurasits.

Saat Lorenz hamil lagi ia bilang itu anak Yurasits, meski Levy mencintai anak itu seperti putranya sendiri.

Lorenz dan Yurasits akhirnya menikah, dan keduanya bekerja untuk FBI.

Mereka berpura-pura menjadi pemilik dari sebuah bangunan bertingkat di East 87th Street sembari memata-matai diplomat dari negara-negara Blok Timur. Mereka kemudian bercerai pada 1975 dan Yurasits meninggal pada 2009 lalu.

Anak mereka, Mark (47), sekarang tinggal di Brooklyn dan mengelola bisnis pemeliharaan akuarium dan mengelola artis untuk pesta anak-anak dan acara lainnya.

Monica, sekarang 52 tahun, mantan model Playboy, adalah aktris yang tinggal di Los Angeles. Lorenz sendiri bilang bahwa dirinya tidak punya keraguan tentang ayah-ayah dari anak-anaknya terlepas dari kehidupan cintanya yang beragam.

Seorang pengacara Perez Jimenez mengatakan bahwa diktator itu selalu menolak disebut ayah Monica, meski terus mengirim uang jajan untuk beberapa saat.

Sedangkan anaknya dengan Castro, setelah 22 tahun mencoba dengan sia-sia, Lorenz kembali ke Kuba pada 1981 dan diizinkan bertemu dengan Sang Comandante.

Setelah bertanya baik-baik, Castro menjawa bahwa anaknya baik-baik saja. Saat itu ia juga bertemu dengan seorang pemuda tampan berwajah seperti Castro.

“Apakah aku ibumu?” Lorenz bertanya padanya, dan memeluknya.

“Ia anak kami, saya percaya itu dengan pasti,” tulisnya.

Dalam waktu dekat, ia berencana terbang lagi ke Kuba dan meminta pemimpin Kuba saat ini, Raul Castro, memberinya izin bertemu dengan putranya.

Konon, nama laki-laki itu adalah Andre dan kini sudah berusia 57 tahun.

Lorenz yakin bahwa Andre diambil darinya karena ia adalah orang Jerman-Amerika, dan pendukung Castro yakin bayi itu lahir ia akan bersekutu dengan Jerman dan AS untuk menghancurkan Kuba.

Anaknya, sejauh yang ia tahu, adalah seorang dokter anak yang tinggal di Kuba.

Ketika Castro meninggal pada 2016 lalu ia meras hidupnya hancur.

“Ia adalah cinta (sejati) dalam hidupku. Ia masih ada secara spiritual bagiku. Ia merasuk ke tubuh, bukan di jiwa.”

Tag

Editor : Moh. Habib Asyhad