Dianggap Lebih Praktis, Dahulu Seorang Suami Lebih Pilih Jual Istri di Pasar Daripada Menceraikannya

Minggu, 23 Juni 2019 | 13:43
Kolase historywomen.org dan wikipedia

Tradisi Jual Istri Awal Tahun 1800-an

Suar.ID -Ketika hubungan suami istri sudah tidak lagi harmonis dan sudah tak dapat perbaiki lagi, umumnya perceraian akan dipilih.

Namun, tidak demikian pada awal abad ke-19 M di dataran Eropa sana.

Melansir dari History Daily, awal tahun 1800-an di Eropa wanita dan anak-anak dapat disebandingkan dengan nilai sebuah barang.

Seorang suami yang tak lagi bahagia dengan istrinya atau tak sanggup lagi mebina kehidupan berumah tangga, dapat dengan mudah membawanya ke pasar dan menjualnya.

Baca Juga: Viral! 'Bus Hantu' Cikampek-Bandung, Seluruh Penumpang Berwajah Pucat Hingga Kondektur yang Tak Mau Dibayar

Praktik penjualan istri sebenarnya bukanlah tindakan yang legal namun pada kenyataannya kegiatan tersebut marak terjadi.

Terutama di kalangan masyarakat bawah, sehingga para penegak hukum seolah tutup mata dan tak mengambil tindakan.

Menjual istri dianggap menjadi alternatif yang lebih mudah dan lebih murah dibanding menceraikannya dengan perceraian tradisional.

Karena pada saat itu sebuah perceraian membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Baca Juga: Ketika Papa Muda Fadel Islami Beri Perhatian kepada Putri Sulung Muzdalifah: Biasakan Tidur Jam 11-12

Menurut Undang-Undang Parlemen yang berlaku pada masa itu serta untuk mendapat izin dari gereja memerlukan biaya setidaknya Rp 211 juta menurut kurs saat ini.

Biaya yang tak sedikit itu tentu sangat berat bagi masyarakat kalangan bawaah yang umumnya para prianya berasal dari kelas pekerja

Seorang istri dijual dengan menggunakan sistem lelang, dimana hanya penawar tertinggilah yang dapat membelinya.

Tak hanya dari pihak pria saja yang tega menjual istrinya, namun pihak istri pun ternyata dapat meminta untuk dijual.

Hal ini umumnya terjadi ketika sang istri sudah tak tahan karena merasa kehidupan pernikahan yang tak bahagai.

Bisa juga karena sang istri tak tahan dengan perlakukan suami yang sering melakukan tindak kekerasan.

Jika dalam kondisi sang istri yang meminta dijual, maka ia sendirilah yang berhak memutuskan siapa pembelinya dan boleh pula menolak calon pembeli.

Biasanya suami istri akan membuat kesepakatan setidakya seminggu sebelum pelaksanaan jual-beli.

Tentunya praktik penjualan istri dianggap gila dan tabu di masa modern ini, namun ada zaman dahuu hal tersebut dianggap lumrah.

Lantaran pernikahan pada zaman dahulu lebih sering didasarkan pada kepentingan ekonomi bukan karena cinta.

Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Pernikahan pada 1753, dahulu bahkan pernikahan tak memerlukan upacara khusus, hanya perlu kesepakatan.

Praktik penjualan istri sudah menurun sejak penerapan peraturan perceraian modern, sayangnya masih ada beberapa tempat yang melakukannya.

Bahkan pada 2009 lalu, seorang petani miskin yang tinggal di sebuah pedesaan di India dipaksa untuk menjual istri-istrinya demi melunasi hutangnya.

Baca Juga: Viral Foto Duda Berumur 65 Tahun Menikah Dengan Gadis 18 Tahun, Awalnya Diperkenalkan Lalu Berakhir di Pelaminan

Tag

Editor : Rina Wahyuhidayati

Sumber History Daily