Perjuangan Ibu Muda nan Miskin Menghidupi 38 Anak Kembarnya, Ditinggal Suami saat Sedang Susah-susahnya

Minggu, 28 April 2019 | 15:54
Colleb Mugume

Mariam Nabatanzi dengan anak-anaknya.

Suar.ID -Mariam Nabatanzi menikah saat usianya masih 11 tahun.

Setahun kemudian, dia melahirkan untuk pertama kalinya. Tak hanya satu, tapi lima bayi kembar.

Setelahnya, perempuan Uganda ini melahirkan empat pasang bayi kembar tiga dan lima pasang kembar empat dan satu lahir tunggal.

Total, seperti dilaporkan Nypost.com mengutip Reuters pada Kamis (25/4), dia telah melahirkan 38 anak kembar.

Baca Juga : Seekor Anjing Setia Menemani Tuannya yang Hilang saat Hiking sambil Terus Menggonggong Mencari Pertolongan

Tapi sial, tiga tahu lalu, perempuan 39 tahun itu ditinggal minggal suaminya.

Kondisi itu memaksanya untuk banting tulang supaya ke-38 anaknya masih tetap bisa makan.

Tragedy itu seolah-olah melengkapi tragedi-tragedi yang menderanya selama ini.

Dia tinggal bersama anak-anaknya di empat rumah sempit yang terbuat dari balok semen dan ditutup dengan seng di sebuah desa yang dikelilingi ladang kopi, 50 km utara Kampala.

Setelah pasangan kembar pertamanya lahir, Nabatanzi pergi ke dokter yang memberi tahu dia memiliki ovarium besar yang tidak biasa.

Dia menasihatinya bahwa menggunakan alat kontrasepsi seperti pil KB bisa mengganggu kesehatannya.

Jadi anak-anak terus berdatangan dari rahimnya.

Bisa dibilang, keluarga Nabatanzi adalah keluarga terbesar di Afrika kiwari.

Di Uganda, tingkat kesuburan rata-rata 5,6 anak per wanita, salah satu yang tertinggi di benua itu dan lebih dari dua kali lipat rata-rata global 2,4 anak, menurut Bank Dunia.

Baca Juga : Walau Ijab Kabul Harus Diulang, Ammar Zoni dan Irish Bella Akhirnya Resmi Jadi Sepasang Suami-Istri, Semoga Langgeng Ya

Tetapi bahkan di Uganda, ukuran keluarga Nabatanzi membuatnya menjadi outlier yang ekstrem.

Kehamilan terakhirnya, dua setengah tahun yang lalu, mengalami komplikasi.

Itu adalah anak kembar keenamnya dan salah satunya meninggal saat dilahirkan.

Lalu suaminya—yang sejak awal memang suka menghilang—meninggalkannya.

Namanya sekarang menjadi kutukan keluarga.

Nabatanzi akan melancarkan sumpah serajah yang disinggung tentangnya.

“Saya tumbuh dengan air mata, laki-laki saya telah memberi saya banyak penderitaan," katanya saat wawancara di rumahnya, tangan tergenggam saat matanya menggenang.

“Semua waktu saya dihabiskan untuk merawat anak-anak saya dan bekerja untuk mendapatkan uang.”

Putus asa karena uang, Nabatanzi mengerjakan apa pun yang dia bisa.

Sebagai penata rambut, mendekorasi acara, mengumpulkan dan menjual besi tua, membuat gin lokal dan menjual obat-obatan herbal.

Uang itu habis untuk makanan, perawatan medis, pakaian dan biaya sekolah.

Di dinding yang kotor di salah satu kamar rumahnya tergantung potret bangga beberapa anaknya lulus dari sekolah, ada medali emas di leher mereka.

“Ibu kewalahan, pekerjaan menghancurkannya, kami membantu apa yang kami bisa, seperti memasak dan mencuci, tetapi dia masih menanggung seluruh beban keluarga. Saya merasakannya,” kata anak sulungnya Ivan Kibuka, 23, yang harus putus sekolah menengah ketika uangnya habis.

Baca Juga : Pak Supra Kaget Bukan Main saat Ditagih Uang Parkir Rp 43 Juta!

Tragedi sejak kecil

Tragedi sepertinya sudah menjadi nama tengah Nabatanzi.

Tiga hari setelah dia dilahirkan, ibunya meninggalkan keluarganya: ayahnya, dia yang baru lahir, dan lima saudara kandungnya.

“Dia telah meninggalkan kami,” katanya dengan sedih, ketika beberapa dari anak-anaknya yang compang-camping bermain di lantai tanah sementara yang lain mengerjakan tugas.

Setelah ayahnya menikah lagi, ibu tirinya meracuni kelima kakaknya dengan pecahan gelas yang dicampur dalam makanan mereka.

Mereka semua mati. Nabatanzi melarikan diri saat ibu tirinya itu sedang mengunjungi kerabat.

“Saya berumur tujuh tahun saat itu, terlalu muda untuk mengerti apa arti kematian sebenarnya. Saya diberitahu oleh kerabat apa yang terjadi,” katanya.

Dia tumbuh dengan keinginan memiliki enam anak untuk membangun kembali keluarganya yang hancur.

Menyediakan rumah untuk 38 anak adalah tantangan yang konstan.

Baca Juga : Sah Jadi Istri Ammar Zoni, Begini Tampilan Memesona Irish Bella dalam Kebaya Putih dan Makeup Flawless

Dua belas anak tidur di ranjang susun logam dengan kasur tipis di satu ruangan kecil dengan dinding berlapis debu.

Di kamar lain, anak-anak yang beruntung kruntelan di atas kasur sementara yang lain tidur di lantai tanah.

Anak-anak yang lebih besar membantu merawat yang lebih muda dan semua orang membantu mengerjakan tugas-tugas seperti memasak.

Untuk hidup, setidaknya keluarga itu membutuhkan sekitar 25 kg tepung jagung.

Ikan atau daging adalah makanan langka.

Daftar nama di papan kayu kecil yang dipaku di dinding menjelaskan tugas mencuci atau memasak.

"Pada hari Sabtu kita semua bekerja bersama," demikian bunyinya.

Setelah mengalami masa kecil yang sulit itu sendiri, harapan terbesar Nabatanzi sekarang adalah agar anak-anaknya bahagia.

“Saya mulai mengambil tanggung jawab orang dewasa pada tahap awal,” katanya.

“Kurasa, aku belum memiliki kesenangan sejak aku dilahirkan.”

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya