Kisah Pembunuh Paling Sadis dari Italia, Daging Korbannya Dijadikan Sabun sementara Darahnya Dijadikan Kue

Kamis, 04 April 2019 | 20:15
allthatsinteresting.com

Leonarda Cianciulli, salah satu pembunuh paling sadis dalam catatan sejarah.

Suar.ID -Ini adalah cerita tentang Leonarda Cianciulli.

Perempuan kelahiran Montella, Italia, pada 18 April 1894 ini kelak dikenal sebagai salah satu pembunuh paling sadis dan paling kejam dalam sejarah.

Kisah kelam Cianciulli sejatinya sudah terjadi bahkan sebelum dia lahir ke muka bumi.

Suatu ketika, ibunya diperkosa seseorang sehingga lahirlah Leonarda Cianciulli. Yang lebih tragis, sang ibu dipaksa untuk menikah denga pemerkosanya itu.

Sang ayah, alias si pemerkosa itu, akhirnya meninggal saat Leonarda Cianciulli masih kecil. Ibunya kemudian menikah lagi dengan pria lain.

Pernikahan yang ternyata membuat si kecil Leonarda Cianciulli semakin menderita.

Selain hidup dalam kemiskinan, dia juga kerap menjadi bulan-bulanan ibunya sendiri yang sering menyiksanya secara fisik.

Bahkan, dalam suatu kesempatan Cianciulli sampai sempat mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri sebanyak dua kali.

Menentang keinginan sang ibu, Cianciulli menikah dengan seorang petugas kantor pencatatan, Raffaele Pansardi, yang berusia jauh lebih tua darinya.

Tidak mengikuti kemauan sang ibu untuk menikahi seorang pria kaya, Cianciulli merasa bahwa ibunya telah mengutuk pernikahannya.

Meski tidak masuk akal, ia merasa hidupnya penuh kesengsaraan dan rasa sakit.

Kemudian, pada tahun 1921, Cianciulli dan suaminya pindah ke kota Lauria.

Sejak awal, mereka telah mengalami masalah keuangan, apalagi penghasilan Pansardi yang tak banyak.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Cianciulli juga ikut bekerja.

Pada 1927, dia sempat ditangkap karena penipuan dan harus masuk ke penjara.

Setelah dibebaskan, Cianciulli dan Pansardi memutuskan pindah ke Lacedonia, di provinsi Avellino, Italia.

Mereka berharap dengan berpindah tempat, hidupnya akan menjadi lebih baik.

Namun, tampaknya keinginannya tidak sesuai dengan kenyataannya.

Rumah keduanya hancur akibat gempa bumi yang melanda tahun 1930.

Tak lama, mereka pindah lagi ke Correggio, sebuah kota di Provinsi Reggio Emilia, Italia.

Di Correggio, mereka mulai mengalami peningkatan keuangan. Cianciulli mulai membuka sebuah toko sabun.

Selama bertahun-tahun, Cianciulli telah mengalami 17 kali kehamilan di mana tiga anaknya keguguran, dan sepuluh anaknya meninggal di usia yang masih kecil.

Cianciulli sangat mempercayai takhayul seperti ramalan, astrologi dan pembacaan garis tangan. Peramal itu mengingatkan bahwa ketika dia menikah dan memiliki anak, mereka semua akan mati di usia muda. Hal ini membuat Cianciulli sangat protektif kepada empat anaknya.

Cianciulli juga sempat bertemu dengan peramal lainnya.

Dengan membaca garis tangan, peramal tersebut mengatakan bahwa dirinya melihat penjara di tangan kanan Cianciulli dan rumah sakit jiwa di sebelah kiri.

Pada tahun 1939, Perang Dunia II terjadi dan Italia, yang dipimpin oleh fasis Benito Mussolini, berusaha memasuki perang di sisi Jerman.

Mereka mulai merekrut untuk menjadi bagian militer dan Giuseppe Pansardi, putra tertua Cianciulli, telah ditunjuk untuk menjadi bagian dari Angkatan Darat Italia.

Hal ini membuat Cianciulli takut kehilangan Giuseppe karena Giuseppe adalah kesayangannya.

Untuk melindunginya, Cianciulli memutuskan satu-satunya cara yang dapat melindung anaknya yaitu dengan pengorbanan manusia.

Tiga korbannya adalah Faustina Setti, Francesca Soavi, dan Virginia Cacioppo.

Korban pertama adalah Faustina Setti yang merupakan kliennya sendiri. Ia mendatangi Cianciulli untuk meminta bantuan Cianciulli.

Ya, Cianciulli telah menjadi seorang peramal dan memiliki reputasi yang cukup baik.

Faustina Setti adalah wanita setengah baya yang belum menikah dan ia sedang mencari seorang suami.

Selama kunjungannya, Cianciulli mengatakan kepadanya bahwa ada pasangan yang cocok untuknya di Pola (Kroasia modern) tetapi Cianciulli menyuruhnya untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang hal itu.

Setti juga disuruh untuk menulis surat dan kartu pos yang dapat dikirim kepada kerabat dan temannya setelah dirinya sampai di Pola.

Pada hari keberangkatannya, Setti datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Cianciulli.

Cianciulli memberikan minuman anggur yang membuat Setti pingsan. Tak lama, ia langsung membunuhnya dengan kapak, menarik tubuhnya ke dalam lemari, dan memotongnya menjadi sembilan bagian.

Cianciulli juga mengumpulkan darahnya ke sebuah baskom.

Setelah ditangkap, Cianciulli mengatakan kepada pihak berwenang mengenai sisa-sisa tubuh Setti.

Dia mengatakan bahwa dia memasukan potongan tubuh ke dalam panci, menambahkan tujuh kilo kaustik, dan mengaduknya sampai campuran tersebut berubah menjadi bubur yang kental dan gelap.

Kemudian, ia menuangkan ke beberapa ember dan membuangnya ke tangki septik terdekat.

Darah yang berada di baskom dibiarkannya hingga mengental sebelum di campurkan dengan tepung, gula, coklat, susu, telur, dan margarin untuk membuat kue. Hasil kuenya ia berikan kepada orang-orang dan sisanya dimakan oleh Giuseppe dan dirinya sendiri.

Menurut beberapa sumber, Cianciulli menerima uang dari Setti sebagai hasil bayaran untuk layanannya sekitar 30 ribu lira.

Korban kedua adalah Francesca Soavi, wanita paruh baya yang dijanjikan untuk mendapatkan prospek yang lebih baik daripada saat itu.

Cianciulli memberitahunya bahwa dia telah menemukan pekerjaan di salah satu sekolah khusus anak perempuan di Piacenza (saat ini Italia utara). Cianciulli juga meminta Soavi untuk menulis surat kepada temannya dan mengatakan untuk tidak memberitahukan kepergiannya kepada siapapun.

Soavi kemudian datang menemui Cianciulli untuk terakhir kalinya sebelum keberangkatannya.

Sama seperti Setti, Cianciulli memberinya minuman anggur yang membuat Soavi pingsan. Setelah itu, ia dibunuh dengan kapak. Pembunuhan tersebut dikatakan terjadi pada 5 September 1940.

Virginia Cacioppo menjadi korban terakhir pembunuhan yang dilakukan Cianciulli. Cacioppo adalah mantan penyanyi soprano.

Cianciulli memberitahunya tentang adanya lowongan pekerjaan di Florence sebagai sekretaris untuk seorang impresario.

Sama seperti yang dikatakan kepada dua wanita lainnya, Cacioppo diperintahkan untuk tidak memberi tahu kepada siapapun tentang kepergianya.

Pada 30 September 1940, Cacioppo datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada Cianciulli.

Cianciulli kemudian menjelaskan apa yang terjadi selanjutnya di mana ia menggunakan daging Cacioppo dan mengubahnya menjadi sabun.

Pembunuhan ini terungkap setelah saudara ipar Cacioppo curiga atas hilangnya Cacioppo secara tiba-tiba.

Dia kemudian melaporkan kepada pihak berwenang setelah mengetahui bahwa Cacioppo terakhir kali terlihat memasuki rumah Cianciulli. Cianciulli pun kemudian ditangkap.

Pada awalnya, ia bersikeras membantah telah membunuh siapa pun. Namun, setelah Giuseppe diduga terlibat dalam pembunuhan Cacioppo, ia akhirnya mengakuinya.

Tidak hanya itu, Cianciulli juga diperintahkan untuk menghabiskan tiga tahunnya di rumah sakit jiwa.

Pada 15 Oktober 1970, pada usia 76 tahun, Cianciulli meninggal di rumah tahanan wanita di Pozzuoli akibat menderita pitam otak dalam waktu yang lama.

Beberapa barang yang digunakannya saat membunuh seperti kapak dan baskom, ditampilkan di Museum Kriminologi di Roma.

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya