BNPB Yakin Gunung Anak Krakatau Tak Akan Meletus Dahsyat Seperti Tahun 1883 Silam, Ini Penjelasan Sutopo

Rabu, 26 Desember 2018 | 13:04
Awak Susi Air via Instagram @natgeoindonesia

Letusan Gunung Anak Krakatau sehari setelah tsunami Banten yang berhasil dipotret awak Susi Air.

Suar.ID - Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau membuat masyarakat Indonesia merasa takut dan khawatir.

Akibat aktivitas gunung itu, sebagian dinding gunung jatuh ke dalam lautan dan efeknya menimbulkan ombak pasang tsunami yang menerjang kawasan Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam.

Masyarakat Indonesia takut kalau sampai terjadi letusan besar seperti tahun 1883 silam.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Gunung Anak Krakatau tidak akan meletus besar seperti di tahun 1883.

Baca Juga : Seperti Ini Tradisi Natal Keluarga Kerajaan Inggris yang Unik, Ada Acara Tukar Kado Juga Lo!

Letusan tahun 1883 terjadi saat tiga gunung yang ada di Selat Sunda meletus secara bersamaan.

Tiga gunung itu adalah Gunung Rakata, Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan.

Akibat letusan dahsyat itu, tiga gunung hancur dan habis. Tahun 1927, muncullah Gunung Anak Krakatau dari dalam lautan.

"Gunung Anak Krakatau (magma) dapurnya tidak akan besar seperti sana (ketiga gunung terdahulu)," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).

Baca Juga : Meski Tak Mengenal Ifan Seventeen, Denny Sumargo Ikut Sedih dan Minta Izin Kirim Doa untuk Dylan Sahara

Menurut Sutopo, masyarakat tak perlu terlalu takut.

"Banyak ahli yang mengatakan, untuk terjadi letusan yang besar dari Anak Krakatau masih perlu waktu sekitar 500 tahun lagi," lanjutnya.

Saat ini status Gunung Anak Krakatau masih berada di level 2 atau waspada.

Status tersebut berdasarkan yang ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Menurut pantauan mereka, hingga saat ini masih terus terjadi erupsi dari Gunung Anak Krakatau.

"Jadi jangan percaya sejak tadi pagi banyak (kabar) beruntun bahwa status Gunung Anak Krakatau dinaikan menjadi siaga, tetap dalam hal ini statusnya waspada, dan erupsi Gunung Anak Krakatau sebenarnya berlangsung sejak Juni 2018 sampai hari ini," tutur Sutopo.

Baca Juga : Selama Ini Kita Tertipu, Ternyata Wortel Tak Bisa Perbaiki Kualitas Penglihatan Mata Hingga Kembali Normal

Gunung Anak Krakatau punya tipe strombolian. Gunung ini memang sewajarnya terus menyemburkan lava pijar dan abu vulkanik.

PVMBG juga sudah menetapkan kalau wilayah sepanjang 2 kilometer dari puncak kawah dinyatakan sebagai zona berbahaya dan tak boleh didekati manusia,

"Erupsi Gunung Anak Krakatau juga tidak mengganggu proses pelayaran kapal di Selat Sunda maupun jalur penerbangan di langit di atasnya," terang Sutopo.

Sebelumnya, Sutopo sempat mengatakan ia tak mengira longsoran bawah laut Gunung Anak Krakatau mampu menyebabkan tsunami.

Baca Juga : Ahli Fengshui Soroti Rumah Nagita Slavina dan Raffi Ahmad, Sebuah Pohon Diaggap Bawa Celaka

Aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau bulan ini termasuk bukan yang paling besar jika dilihat dari segi frekuensi dan tremor letusan.

"Kalau kita lihat letusannya juga tidak yang paling besar. Bulan Oktober dan November malah letusannya lebih besar," lanjut Sutopo.

Berdasarkan sejarah catatan tsunami di Indonesia, sebanyak 90 persen tsunami dibangkitkan oleh gempa bumi. Sementara 10 persen dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk dapat mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsoran bawah laut dan erupsi gunung api. Apalagi, Indonesia saat ini memiliki 127 gunung api aktif.

"Sebanyak 13 persen populasi gunung api aktif dunia ada di indonesia yang berpotensi juga menimbulkan tsunami," ujar Sutopo.

Baca Juga : Misteri Dentuman di Langit Jawa dan Sumatera Sempat Dikira Erupsi Gunung Anak Krakatau tapi Ternyata Bukan!

Editor : Aulia Dian Permata

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya