Suar.ID -Operasi penyelamatan oleh ABRI pada Mei 1996 akhirnya menyudahi drama penyanderaan terhadap Tim Ekspedisi Lorentz oleh Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Irian Jaya.
Manusia boleh berusaha, Tuhan juga yang menentukan.
Dua di antara 11 sandera ditemukan tewas akibat dibunuh anggota GPK. Mereka adalah Matheis Yosias Lasamahu (Theis) dan Navy Panekenan.
Sarah Lasamahu, ibu Theis, mencurahkan isi hatinya kepada Tablod NOVA edisi 26 Mei 1996.
Baca Juga : 5 Zodiak ini Paling 'Blak-blakan' Kalau Bicara, Tanpa Sadar Sering Bikin Orang Lain Sakit Hati
****
Saya tidak menyangka Theis harus meninggal seperti ini. Sebelumnya pun tak ada firasat apa-apa.
Lagi pula, saat pemberitaan di teve sehari sebelumnya, tidak disebutkan bahwa Theis sudah tak ada.
Saya pikir, dia pasti selamat seperti sembilan sandera lainnya. Tapi belumditemukan karena terpisah dari teman-temannya.
Kamis siang (16/5/1996), sepulang dari gereja, saya memasak. Lalu ada tetangga saya datang.
"Ada telepon dari menantu Ibu di Jakarta," katanya.
Di telepon, menantu saya meminta saya saat itu juga ke Jakarta. Katanya, ada sesuatu yang mau dirembukkan.
Biarpun mereka tak berterus terang, tapi hati saya sudah tak enak.
Lutut saya lemas. "Pasti ada apa apa, karena ini tak biasa," pikir saya.
Anak-anak saya memang sebagian tinggal di Jakarta, di samping yang bersama saya di Bandung.
Meninggal sebagai pejuang
Bertiga dengan kakak Matheis, sckitar jam 5 sore, kami mencarter kendaraan ke Jakarta.
Tiba di rumah anak saya di Kebon Kelapa, Jakarta, sekitar jam 8 malam. Di sana sudah ramai orang. Termasuk saudara saya yang di Mabes ABRI.
Dia langsung merangkul saya. Lo, ada apa ini?
Terus dia bilang, "Tante, yang tabah, ya?" Orang-orang juga berkata, "Terima, ya, apa yang telah diatur Tuhan. Kita ke rumah sakit, yuk."
Ya, Tuhan. Di situlah saya langsung menjerit. Sirna sudah harapan saya melihat Theis pulang dengan selamat.
Baca Juga : Pengakuan Via Vallen Tentang Endorse Kosmetik Oplosan, Pernah Pakai Produknya untuk Diri Sendiri
Kami lalu ke RSPAD. Setelah menunggu sekian lama, jenazah pun tiba. Kami pun masuk.
Keluarga duduk di sebelah kanan, sedangkan teman-teman Theis di sebelah kiri.
Seakan mimpi, saya lihat di salah satu peti jenazah terrulis nama Theis. Badan saya sudah lemas dan terus dipapah keponakan saya.
Tak lama kemudian datang Pak Soeyono (Kasum ABRI, Red.) dan berkata, "Minta maaf, ya, Bu. Kami sudah cukup berusaha."
Sampai saat itu. saya belum tahu persis, apa penyebab kemutian Theis.
Belakangan, ada saudara dekat Adinda (salah satu sandera yang selamat. Red.).
Theis meninggal karena dibacok saat hendak melindungi Adinda, dan satu lagi temannya.
Katanya, waktu itu mereka hendak melarikan diri sama-sama lewat sungai.
Yah, saya tak bisa bilang apaapa, kalau memang Tuhan sudah berkehendak. Apalagi kematiannya karena dia mau menolong sesamanya.
Artinya, dia meninggal sebagai pejuang. Yang saya sedihkan, kenapa Theis harus tewas sehari sebelum dia dan rombongannya pulang.
Di tangan GPK pula. Dia itu, kan, ilmuwan peneliti. Kenapa, kok, justru dia yang disandera?
Tak pernah mengeluh
Kegelisahan saya selama menanti Theis sulit diucapkan lewat kata-kata.
Tiap kali menerima surat dan foto dari Theis, batin saya serasa teriris-iris. Seluruhnya ada 9 surat dan 2 foto Theis yang disampaikan lewat Palang Merah Internasional.
Saya sungguh kagum pada ketabahan anak lelaki saya itu. Dalam surat-suratnya, tak pernah sekalipun dia mengeluh.
Baca Juga : Dicuekin Saat Ajak Kenalan, Nur Khamid Akhirnya Malah Nikahi Polly: Bukti Cinta Butuh Perjuangan
Padahal, seperti cerita Adinda, mereka pernah tak makan sampai berminggu-minggu.
Selalu saja dia menulis, "Saya dalam keadaan sehat. Ma. Doakan supaya saya bisa pulang selamat."
Saya pikir, dia ingin menguatkan saya. Dia rupanya khawatir saya jatuh sakit karena terus memikirkan dia.
Di suratnya yang terakhir sebulan lalu (sebelum dia meninggal), dia malah berpesan pada kakak dan adiknya.
Satu per satu dia sebut nama, termasuk juga keponakan-keponakannya.
Dia bilang, "Tolong titip Mama. Sering-seringlah tengok Mama."
Saya pun diminta tak usah sering-sering ke Jakarta dan tenang-tenang saja di Bandung.
"Nanti capek," katanya.
Duh, malangnya nasib Theis. Selama dia disandera, saya membayang-bayangkan, apa yang dia lakukan di sana?
Kalau saya makan, saya suka ingat dia. Di sana anak saya makan apa? Lalu terlintas kenangan, saat Theis bercanda-canda dengan saya.
Semua muncul silih berganti. Kalau sudah begitu, saya berpasrah pada Tuhan.
Dia telah beri saya kasih di sini, berarti Dia juga akan beri kasih pada Theis di sana.
Saya memang cuma bisa berdoa. Dengan satu pengharapan supaya dia bisa lekas kembali berkumpul dengan keluarga.
Saya tak pernah minta bantuan ke mana-mana saat Theis disandera, selain pada Tuhan.
Baca Juga : Pria Thailand Ini Tinggal Serumah dengan Buaya Besar Selama 20 Tahun, Tiap Hari Harus Uji Nyali!
Dikejar binatang buas
Sejak kecil, Theis itu anak yang penurut dan senang tinggal di rumah.
Dia juga termasuk paling pendiam dibanding saudara-saudaranya. Kalau tak ditanya, ya diam saja.
Tapi dia sangat tekun belajar. Nilainya di sekolah termasuk lumayan.
Saya dan dia juga tak pernah berpisah, kecuali selelah dia meneruskan kuliah ke Universitas Nasional di Jakarta.
Setelah lulus tahun 91, dia bergabung ke BSeC (Biological Science Club).
Sejak itu, dia sudah pergi ke Aceh, Jambi, Manado, dan terakhir ke Irian (sekarang Papua), untuk melakukan penelitian flora dan fauna.
Dia itu orangnya tekun sekali. Makanya pantas jadi peneliti.
Sampai usia 32 tahun, Theis masih sendiri. Mungkin karena dia masih mau membahagiakan saya.
Sejak ayahnya meninggal tahun 89, Theis memang sangat memperhatikan saya.
Kalau sedang libur, biarpun cuma sehari, dia tak pernah lupa menengok saya di Bandung.
Biasanya, kalau pulang dari penelitian, Theis bawa oleh-oleh cerita seru. Misalnya, pernah dia dikejar-kejar binatang buas. Selain itu, Theis tak lupa mengajak sekeluarga berekreasi.
Entah ke Ciater atau Situ Patenggang. Mungkin itulah cara dia refreshing dan melepas rindu setelah berbulanbulan di lapangan.
Baca Juga : Hanya dengan Roti Manis dan Air, Driver Ojek Online Sukses Selamatkan Wanita yang Ingin Bunuh Diri
Bayangkan saja, untuk satu penelitian dia bisa pergi sampai 6 bulan. Cuma di Irian ini yang 3 bulan. Sayang, sehari sebelum kepulangannya. Dia keburu disergap.
Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Saya juga tak mau menaruh dendam pada pembunuh Theis.
Karena Tuhan melarang dendam. Tuhan mengajarkan kita untuk mengampuni.
Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Saya yakin, semua itu ada balasannya.
Siapa yang menabur benih, akan menuainya. Saya percaya itu...