Gempar, Anak Kandung Bung Karno yang Pernah Jadi Kondektur Bemo di Manado

Senin, 17 Desember 2018 | 06:00
Intisari

Gempar Soekarno Putra

SUAR.ID-“Soekarno”dalam nama panjangnya jelas merujuk pada nama Presiden I Republik Indonesia, Ir. Soekarno.

Lebih dari 50 tahun lalu, saat masih berkuasa, Sang Proklamator jatuh hati dan menikahi ibunda Gempar, Jetje Langelo, di Manado.

Namun asal-usul dan “darah biru” yang diwarisinya malah membuat jalan hidup Gempar penuh liku.

***

Pada Mei 1998, ketika iklim politik Indonesia memanas dan pemerintahan Soeharto memasuki senja, Jetje Langelo (dibaca: Yece) melihat sesosok wajah yang amat dikenalnya di antara para demonstran yang menduduki Gedung DPR/MPR.

Charles Christofel, salah satu putranya, terlihat di antara lautan massa mahasiswa berjaket kuning yang tengah meminta Soeharto turun takhta.

Ketika itu Charles adalah mahasiswa Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Indonesia.

Baca Juga : Diam-diam, Iriana Sering Cemburu Saat Jokowi Dipeluk Wanita Lain, Ini Pengakuannya

Fenomena itu membuat Jetje gundah. Putranya itu dipanggil pulang ke Manado. Tapi karena beragai kesibukan pekerjaan, Charles baru muncul Desember 1999, sekalian merayakan Natal.

Charles tidak pernah menyangka, apa yang kemudian terjadi di rumah ternyata mengubah jalan hidupnya.

Di dinding rumah Jetje telah terpasang foto-foto ibunya semasa muda yang tampak berdiri akrab dengan seorang pria yang dikenalnya sebagai Ir. Soekarno.

"Kamu adalah anak Soekarno." Begitu kata-kata Jetje yang terasa bagai petir di telinga Charles.

Ibundanya yang dipanggil mami, juga menerangkan bahwa ini sengaja dirahasiakan, lebih dari 40 tahun, tak lain karena amanat Soekarno sendiri yang menginginkan anaknya diamankan, jika sewaktu-waktu kekuasaannya jatuh.

Apalagi pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, kata Jetje, ada operasi militer yang hendak menumpas sisa-sisa rezim Orde Lama. la takut terjadi sesuatu pada dirinya dan Gempar.

Dok. Intisari

Jejte bersama Bung Karno

Bukan sekadar ucapan, Jetje juga mengeluarkan sejumlah dokumen yang selama ini disembunyikan.

Antara lain berupa foto, surat-surat, tongkat komando, keris, serta amanat yang ditulis oleh tangan Soekarno sendiri.

Baca Juga : Kisah Seven Society Club, Kelompok Rahasia yang Hobi Hamburkan Uang demi Kebahagiaan Orang Lain

Dalam amanat tertulis permintaan agar anak yang lahir pada 13 Januari 1958 itu, kelak pada saatnya ia sudah dewasa berpolitik, dinamai: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra.

"Kutitipkan bangsa dan negara kepadanya!"

Jadi kondektur bemo

Kenyataan ini memang tidak serta-merta mengubah hidup Charles yang kemudian menyandang nama baru: Gempar Soekarno Putra.

Ia tetap seorang pengusaha yang juga berprofesi sebagai konsultan hukum di Jakarta.

Namun ada niatannya untuk lebih mengenal ayah biologis yang tidak pernah diingatnya itu. Langkah awalnya mengunjungi makam Soekarno di Blitar.

Lalu dengan penuh kesadaran, di sebuah masjid di kawasan pemakaman raja-raja Jawa, di Imogiri, ia memeluk agama Islam.

Dengan identitas dan legalitas baru, Gempar melanjutkan hidupnya yang saat itu sudah tergolong mapan.

Pekerjaan dan karier cerah, materi cukup, serta sudah berkeluarga dengan seorang istri (Jeane Augusta Lengkong) dan seorang putra (Yohanes Yoso Nicodemus).

Segala pencapaian ini terus disyukurinya mengingat jalan hidupnya yang penuh onak dan duri.

Pada usia SD, Gempar sudah dititipkan di rumah kakak dari suami pertama Jetje.

Baca Juga : Modalnya Rp58 Juta, Janda Satu Anak Nekat Sulap Kontainer Jadi Rumah, Begini Hasilnya!

Meski ikut famili, ternyata ia tidak diperlakukan sebagai anak biasa dan harus bekerja keras hingga mirip seperti pembantu.

Perlakuan keluarga itu, menurut Gempar, juga sangat menyakitkan. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus berjualan es.

Pada usia belasan, ia juga pernah menjadi kondektur bemo. Tapi sekolahnya tidak pernah berhenti, hingga tamat dari SMA Negeri 1 pada 1977 dengan prestasi lima besar.

Beberapa bulan setelah tamat sekolah, Gempar merantau ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga pihak ibunya.

Namun ia maklum, jika perlakuan keluarga-keluarga itu juga tidak ramah kepadanya.

Ia sering diperlakukan kasar sehingga harus terusir dan berpindah-pindah rumah. Bahkan pernah ikut di rumah seorang pedagang buah di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.

Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria.

Tahun 1985 ia malah bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Berbekal dari pekerjaan dan kuliahnya, pekerjaan yang digelutinya kemudian lebih banyak terkait dengan hukum atau di perusahaan biasa disebut bagian legal.

Ia juga menjadi konsultan hukum di beberapa perusahaan elektronik seperti Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig, serta beberapa bank.

Dari pekerjaan itu perlahanlahan kehidupannya mulai mapan, setelah memiliki beberapa bidang tanah dan kendaraan di Jakarta.

Baca juga:Pengacara Ini Melepas Pekerjaan Bergaji Rp 1 Miliar untuk Menjual Asinan Pepaya, Semua Demi Warisan Keluarga

"Siap, Bung Karno!"

Awalnya Gempar mengenal Soekarno tak lebih sebagai mantan Presiden RI. Ia ingat, sewaktu SMP, pernah nekat membuka sebuah koper besi yang sengaja disembunyikan ibunya di atas plafon rumah.

Tapi selanjutnya isi koper yang kelak dipakai untuk membuka jati dirinya itu, tidak terlalu dihiraukannya.

"Malah ada tongkat komando yang pernah saya pakai untuk menggali-gali tanah," tutur Gempar tentang kenakalannya di masa kecil terhadap benda-benda peninggalan Soekarno itu.

Cerita tentang sang ayah didapat dari Jetje sebelum akhirnya meninggal pada November 2004.

Dalam ingatan Jetje, Soekarno mulai mengenalnya ketika berkunjung ke Manado tahun 1953. Sejak itu keduanya menjalin hubungan melalui surat atau telegram, serta sesekali bertemu jika kebetulan Presiden berkunjung ke Manado.

Tapi orangtua Jetje tidak merestui niat Soekarno untuk menikahi putri mereka.

Maka begitu lulus dari sekolah SGA Roma Katolik Manado, Jetje dinikahkan dengan Leo Nico Christofel, anggota TNI berpangkat Letnan Satu.

Meski sudah dikarunia dua anak, akhir 1955, Jetje dan Leo bercerai. Hubungan dengan Soekarno berlanjut kembali hingga akhirnya keduanya menikah secara Islam tahun 1957 di Manado.

Perkawinan itu sempat dipestakan juga di Jakarta, namun Jetje yang dipanggil "Ice" oleh Soekarno, kemudian kembali lagi ke Manado.

Baru setelah menjelang kelahiran Gempar, Jetje berniat menyusul suaminya, tapi batal karena ada pemberontakan Permesta.

Soekarno baru dapat menggendong anaknya untuk pertama (dan terakhir kali) tahun 1960.

Menurut Gempar, ada beberapa pejabat dekat Soekarno yang mengetahui soal pernikahan ini.

Seperti Mayor Sugandi (ajudan Presiden), Henk Ngantung (Gubernur Jakarta), Ibnu Sutowo (kemudian menjadi Dirut Pertamina), atau Ali Sadikin.

Dalam ingatannya, ia pernah beberapa kali menemani ibunya menemui bebe-rapa pejabat itu di Jakarta.

Belakangan setelah jati dirinya dibuka, Gempar juga sempat bertemu Ali Sadikin. "Pak Ali masih ingat dan menanyakan kabar ibu saya," katanya.

Ketika Soekarno masih berkuasa, Jetje sempat menikmati kehidupan yang layak dengan diberi rumah di Jln. Tikala, sebuah kawasan elite khusus pejabat di Manado.

Gempar di usia balita juga mendapat kiriman mainan yang bagus dan mahal dari Jakarta.

Baca Juga : Kisah Romantis Ratu Elizabeth II dan Pangeran Phillip, Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama

"Waktu sekolah saya juga sering dibilang teman, 'Siap, Bung Karno', karena katanya mirip Bung Karno kalau memakai peci," kata Gempar yang awalnya menganggap itu sebagai sekadar olok-olok, tapi belakangan diterimanya sebagai semacam petunjuk bahwa dirinya anak Soekarno.

Diminta tes DNA

Keberadaan "satu lagi anak Soekarno" ini terkuak ke publik setelah Majalah Kartini memuat serial kehidupan Gempar, pada terbitan awal tahun 2000.

Tulisan bersambung ber- bentukfeaturesitu memuat kisah kehidupan Gempar di masa lalu, terutama menekankan masa-masa penderitaannya.

Sepintas terbaca seperti dongeng. Namun kepada Intisari, Gempar tegas menyatakan kisah itu sejati.

Tidak ada yang dibuat-buat atau ditambah-tambahi.

Justru pihak keluarga, terutama putranya yang saat itu masih usia anak-anak, sempat keberatan pada kisah-kisah pilu yang diekspos.

Karena itu Gempar merasa perlu memberi pengertian bahwa kisah masa lalu tidak perlu ditutup-tutupi. Justru kalau direkayasa, harusnya merasa malu.

Baru kemudian putranya bisa mengerti dan justru merasa bangga pada kegigihan ayahnya menjalani hidup.

Ramainya publikasi media rupanya mengusik keluarga besar Soekarno. Berdasarkan cerita Gempar, tahun 2003, ia dihubungi pengacara dari Guruh Soekarno Putra untuk menjajaki kemungkinan tes DNA.

Ia tidak menolak, tapi mengajukan syarat: tes bukan atas permintaan dirinya, dilakukan secara terbuka, dan sampel darah yang diambil harus dikawal oleh tim kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Permintaan itu tidak ada kabarnya sampai sekarang.

Baca Juga : Cerita Martinus Selamat dari Pembantaian Pekerja di Papua, Kakinya Tertembak Tapi Masih Bisa Lari 2 Jam

Gempar menduga, lantaran dalam uji DNA, tim dokter harus mengambil sampel darah pembanding. Artinya sampel darah anak-anak Soekarno lain harus juga ikut diambil.

Tentu bisa dibayangkan sulitnya mengumpulkan orang-orang yang sebagian besar merupakan tokoh-tokoh politik nasional.

Namun kalau pun itu suatu kali harus terjadi, Gempar akan bersikukuh dengan syarat yang diajukannya.

"Biar jelas kalau bukan saya yang mencari popularitas. Kalau pun hasilnya benar, ya alhamdulillah. Kalau tidak, berarti ibu saya pembohong," tuturnya tanpa merasa sedikit pun memiliki beban.

Saat ini Gempar bersyukur terhadap satu warisan yakni kemiripan fisik, terutama wajah.

Apalagi kalau ia memakai peci, yang kini jadi seragam wajibnya saat hadir di acara-acara resmi.

Dalam acara kampanye menjelang Pemilu, ia malah sengaja memakai baju mirip baju kebesaran Soekarno, komplet dengan kacamata hitam model jadul.

Wajah mirip, ditambah publikasi media, menjadikan Gempar seperti selebritas. Efek positifnya, banyak orang merasa segan.

Baca juga:Seperti Ombak Mencintai Pantai, Begitulah Kasih Inggit Garnasih ke Bung Karno yang Berakhir Pilu

Misalnya ketika Gempar berhubungan dengan birokrasi, orang akan menolak pemberian amplop sekadar sebagai tanda terima kasih.

"Katanya mereka merasa tidak enak menerima uang dari anak Proklamator," tutur Gempar menirukan orang-orang itu.

Intisari
Ibas

Gempar Soekarno Putra

Satrio piningit?

Dalam koper besi yang disimpan Jetje, sebenarnya Soekarno juga mewarisi Gempar tongkat komando dan dua bilah keris.

Namun atas saran seorang kiai, sebilah keris dibuangnya ke sungai. Sebuah tindakan yang ternyata kini disesalinya, karena menurutnya menyimpan keris bukan berarti menyembahnya.

Sedangkan tongkat komando sudah diberikan kepada kelompok spiritual.

"Saya jadi proaktif, suaranya juga jadi keras, kalau memegang tongkat itu," katanya terus terang.

Amanat sang ayahlah yang akhirnya membuat Gempar kemudian turut aktif berpolitik.

Semua diawalinya dari langkah kecil hingga akhirnya menjabat Wakil Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas). Dalam Pemilu 2009 lalu, Barnas hanya menempati urutan 16 besar.

Gempar yang calon legislator di urutan 1 daerah pemilihan Jawa Timur VIII juga gagal jadi anggota DPR.

Meski banyak orang menyebutnya sebagai satrio piningit, suatu mitos calon pemimpin masa depan dalam ramalan Jayabaya, tapi Gempar mengaku setidaknya saat ini belum berambisi menjadi presiden.

Ketika Pemilu 2004, sikapnya sempat disalahartikan para wartawan, hingga ditulis di media siap menjadi calon presiden.

Fotonya juga dijejerkar dengan anak-anak Soekarno lain yang mencalonkan diri.

"Waktu itu saya ditanya wartawan, saya jawab, 'Insya Allah'," katanya menjelaskan peristiwa yang sempat membuat dirinya merasa tidak enak itu.

Padahal berniat saja belum. Syukurlah hubungannya dengan kakak-kakaknya tidak terganggu. Setiap lebaran, ia sempatkan bersilaturahmi ke rumah mereka.

Tentang mitos satrio piningit, Gempar mencoba menyikapinya secara lebih bijaksana.

Satrio piningit menurutnya adalah bentuk kepemimpinan yang mampu mendatangkan pembaruan dan kemakmuran kepada rakyat. Bisa saja mulai dari Hayam Wuruk, Amangkurat I, Soekarno, termasuk Soeharto.

"Kalau saya disebut begitu, 'amin' sajalah. 'Kan tidak rugi disebut satrio piningit." Gempar menjawab santai.

Baca Juga : Wah, Koin Lawas Seribu Rupiah Gambar Kelapa Sawit Ini Dijual dengan Harga Jutaan

(Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari November 2009 dengan judul Mengapa Saya Bernama Gempar Soekarno Putra)

Tag

Editor : Yoyok Prima Maulana