Organisasi Papua Merdeka, Pemberontak ‘Warisan’ Belanda yang Menyerang Sipil untuk ‘Cari Perhatian’

Sabtu, 15 Desember 2018 | 15:38
Facebook/TPNPB

Kombatan TPNPB anak buah Egianus Kogeya

Suar.ID -Penyekapan disertai pembantaian terhadap para pekerja proyek Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua, pada 2 Desember lalu menegaskan, upaya damai di Bumi Cenderawasih belum menunjukkan titik temu.

Tak lama setelah pembantaian itu, pemerintah langsung mengirim TNI-POLRI untuk meringkus gerombolan yang dinamakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Kelompok ini oleh banyak kalangan disebut berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Baca Juga : Dita Soedarjo Gagal Nikah dengan Denny Sumargo: Saya Enggak Terlalu Mengerti Pergaulan Aktor

Pada 1960-1963 terjadi konflik bersenjata antara militer Indonesia (TNI) dan militer Belanda untuk memperebutkan Irian Jaya (Papua).

Konflik militer dalam skala besar nyaris pecah setelah RI mengerahkan pasukannya secara besar-besaran (Operasi Jaya Wijaya) demi menggempur pasukan Belanda.

Tapi sebelum konflik pecah dalam bentuk peperangan secara terbuka, Belanda memilih menyerahkan Irian Barat secara damai melalui PBB pada 1 Mei 1963.

Namun sebelum menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI, Belanda telah melakukan langkah licik dengan secara diam-diam membentuk negara boneka Papua.

Belanda bahkan membentuk pasukan sukarelawan lokal bernama Papua Volunteer Corps ( PVC) yang sudah terlatih baik dan sempat bertempur melawan pasukan RI ketika melancarkan Operasi Trikora.

Ketika Belanda menyerahkan Irian Barat, secara sengaja Belanda rupanya tidak membubarkan negara boneka Papua yang saat itu dipimpin warga lokal .

Pasukan PVC juga tidak dibubarkan dan banyak di antaranya masuk ke hutan dan membentuk pasukan perlawanan (pemberontak) yang kemudian dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pada 1964-1967 OPM bersama 14 ribu warga di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan masuk hutan di daerah Kepala Burung dan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan PD II.

Baca Juga : Seperti Ini Rupa Egianus Kogeya, Pimpinan KKB Pembantai Pekerja di Nduga, Papua

Pada 28 Juli 1965 terjadi serangan ke asrama Yonif 641/ Cenderawasih Manokwari sehingga mengakibatkan tiga anggota TNI gugur dan empat lainnya luka-luka.

Tahun 1967 pasukan baret merah RPKAD (sekarang Kopassus) pun diturunkan untuk menangani pemberontakan dan kekacauan dengan cara pendekatan perang serta non perang.

Tapi pendekatan non perang yang dilakukan secara persuasif dengan cara menghargai adat istiadat setempat ternyata lebih berhasil.

Mandatjan bersama semua pengikutnya pun keluar hutan dan secara suka rela mau bergabung dengan NKRI.

Seperti tertulis dalam buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, pendekatan persuasif terus dilakukan TNI ketika terjadi gangguan keamanan di Papua hingga saat ini.

Para pengacau keamanan di Papua umumnya masih membawa-bawa nama OPM ‘warisan’ Belanda agar mendapat perhatian secara internasional.

Tak hanya menyerang aparat, mereka juga kerap menyerang warga sipil.

Jika sebelumnya yang menjadi incaran adalah para pekerja freeport, yang paling baru adalah para pekerja proyek Trans Papua di Kabupaten Nduga.

Baca Juga : Juara Liga 1 2018, Direktur Persija Sebut Timnya Raup Rp5,5 Miliar Tiap Pertandingan dari Jakmania

Meski kelompok ini berdalih bahwa mereka yang diserang adalah aparat yang menyamar, tapi hingga sekarang belum ada bukti yang menunjukkan tudingan itu.

Tapi pemerintah RI tidak mau terkecoh dan menyebut para pengacau keamanan itu sebagai Kelompok Keriminal Bersenjata (KKB) saja.

Penanganannya pun diupayakan secara persuasif dan hanya mengerahkan polisi serta bukan merupakan operasi militer.

Apalagi motivasi KKB melakukan tindakan kriminal adalah karena masalah ekonomi dan bukan politik.

Untuk itu Pemerintah RI pun telah berupaya membangun Papua sehingga mengalami perbaikan secara ekonomi termasuk ‘memanfaatkan’ saham Freeport demi membangun Papua. (Agustinus Winardi)

Artikel ini sebelumnya tayang di Intisari dengan judul "OPM, Pemberontak 'Warisan' Belanda Yang Kerap Serang Freeport untuk 'Cari Perhatian'"

Editor : Moh. Habib Asyhad