Suar.ID -Rabu (28/11) Komisi Nasional Keselataman dan Transportasi (KNKT) akhirnya mengumumkan laporan awal jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018 lalu.
Data yang diambil dari flight data recorder (FDR) kotak hitam menunjukkan, sebelum jatuh hidung pesawat turun secara otomatis hampir 24 kali dalam 11 menit.
Dari data itu, seperti dilaporkan Kompas.com, juga diketahui bahwa pilot dan kopilot telah berusaha menaikkan pesawat kembali sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kontrol.
Dan kita tahu, pesawat akhirnya menukik dengan kecepatan sekitar 700 km per jam dan menghujam perairan Laut Jawa.
Tak hanya itu, KNKTjuga menyebut bahwa Lion Air PK-LQP memang sudah tak layak terbang sejak menembuh rute dari Denpasar ke Jakarta, pada 28 Oktober 2019 lalu.
Data kotak hitam membuktikan itu.
Bagaimana yang terjadi pada Lion Air JT610 selama 11, kita bisa melihat melalui dara FDR di bawah ini:
Grafik oranye TRIM AUTOMATIC menunjukkan hidung pesawat turun lebih dari 20 kali dalam 11 menit, sementara Grafik biru TRIM MANUAL menunjukkan upaya pilot membawa hidung pesawat naik kembali.
Masih dari sumber yang sama, laporan awal KNKT dari pembacaan data FDR ini konsisten dengan penyelidikan Boeing soal sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).
Apa itu MCAS?
MCAS merupakan sistem otomatis yang mencegah pesawat stall atau kehilangan daya angkat dengan menurunkan hidung pesawat secara otomatis, meski dalam kondisi terbang manual (Autopilot OFF).
Walau begitu, Kepala SUbkomite Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo, dalam jumpa persi di kantor Kemenhub pada Rabu (2/11) mengatkan bawha MCAS bukan satu-satunya faktor penyebab jatuhnya Lion Air JT610.
Menurutnya, insiden jatuhnya Lion Air JT610merupakan multiple failure.
"Pilot menghadapi berbagai kerusakan dalam waktu yang sama," katanya, seraya menyebut faktor lain yang masih diselidiki saat ini:sensor Angle of Attack (AoA) dalam pesawat.
Sensor mirip sirip kecil yang berada di samping hidung pesawat ini mendeteksi sudut angle of attack (kemiringan hidung pesawat) saat terbang.
Tak lupa, ia juga juga mengungkap kerusakan yang sama yang dialami oleh PK-LQP dalam penerbangan sehari sebelumnya (28/10), yakni rute Denpasar-Jakarta.
Saat itu, kopilot mengatakan bahwa kendali pesawat terasa berat saat ditarik ke belakang (untuk membawa hidung naik).
Pilot kemudian mengubah trim stabilizer ke posisi CUTOUT, untuk mematikan sistem trim otomatis sehingga trim diatur secara manual.
Langkah itu sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan Boeing dan Federal Aviation Admisnitration (FAA) setelah kecelakaan JT610 terjadi.
Menurut Nurcahyo, KNKT selanjutnya akan berdiskusi dengan Boeing dan FAA di Amerika Serikat (AS) untuk membahas temuan awal ini.
Baca Juga : 'Ayah' SpongeBob Meninggal Dunia, Ini 5 Misteri dalam Kartun SpongeBob yang Tak Banyak Disadari Penonton
TAK LAYAK TERBANG
Seperti disinggung di awal, KNKT menyebut bahwa Lion Air PK-LQP memang sudah tak layak terbang sejak menembuh rute dari Denpasar ke Jakarta, pada 28 Oktober 2019 lalu.
Data kotak hitam membuktikan itu.
“Menurut pandangan kami, yang terjadi itu pesawat sudah tidak layak terbang,” ujar Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo di di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat, sperti dilaporkan Kompas.com pad Rabu (28/11).
Nurcahyo menjelaskan, flight data recorder (FDR) mencatat adanya stick shaker aktif sesaat sebelum penerbangan hingga selama penerbangan.
Pada ketinggian sekitar 400 kaki, pilot menyadari adanya peringatan kecepatan berubah-ubah pada primary flight display (PFD).
Hidung pesawat PK-LQP mengalami penurunan secara otomatis.
Karena penurunan otomatis itu, kopilot kemudian mengambil alih penerbangan secara manual sampai dengan mendarat.
“Menurut pendapat kami, Seharusnya penerbangan itu tidak dilanjutkan,” kata Nurcahyo.
Pesawat Lion Air PK-LQP mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta sekitar pukul 22.56 WIB setelah terbang selama 1 jam 36 menit.
Setelah pesawat parkir, pilot melaporkan permasalahan pesawat udara kepada teknisi.
Besok paginya, pesawat dengan jenis Boeing 737-8 (MAX) itu kembali diterbangkan dari Jakarta ke Pangkal Pinang dengan nomor JT 610.
Pesawat yang membawa sekitar 189 penumpang dan kru ini lalu jatuh di perairan Karawang sekitar 13 menit setelah lepas landas.
Nurcahyo mengatakan, temuan yang disampaikan KNKT hari ini merupakan laporan awal, yakni laporan yang didapat setelah 30 hari setelah kejadian kecelakaan.
Meski laporan ini belum bisa disebut sebagia kesimpulan secara menyeluruh paling tidak kita bisa mendapatkan gambaran apa yang sebenarnya terjadi pada pesawat nahas itu sebelum jatuh.