Gara-gara Ganti Senjata, Kopassus Nyaris Gagal Bebaskan Sandera Pesawat Garuda GA-206 ‘Woyla’ di Thailand

Minggu, 11 November 2018 | 18:56
A Winardi

Simulasi operasi antiteror di pesawat oleh TNI

Suar.ID -23 Maret 1981, pesawat komersil Garuda Indonesia DC-9 'Woyla' dengan 48 penumpang dibajak lima teroris.

Karena urusan bahan bahan, bandara itu terpaksa mendarat di Bandara Don Muang, Thailand.

TNI langsung mengerahkan pasukan antiteror Kopassus di bawah komando tokoh intelien Mayjen TNI Benny Moerdani untuk melaksanakan operasi pembebasan sandera.

Pasukan yang dikomandani Kolonel Sinton Panjaitan itu kemudian melakukan berbagai latihan agar operasi pembebasan sandera berhasil dalam hitungan menit.

Baca Juga : Awet Muda Meski Usia Sudah Kepala 4, Ini Rahasia Tata Mantan Istri Tommy Soeharto

Karena jika operasi berlangsung lama, lebih dari lima menit misalnya, para penyandera bisa memiliki waktu lebih untuk melakukan perlawanan.

Imbasnya, bisa memakan korban jiwa lebih besar.

Ketika sekitar 30 personel pasukan antiteror latihan, mereka menggunakansenapan serbu M16A1 buatan Amerika.

Sekadar informasi, senapan serbu ini begitu populer saat Perang Vietnam meletus.

Tapi senapan M16A1 sebenarnya kurang cocok untuk digunakan dalam pertempuran jarak dekat dan efek dari tembakan pelurunya pun bisa merusakkan pesawat.

Bagaimanapun juga, tujuan operasi pembebasan sandera di pesawat DC-9 selain untuk menyelamatkan penumpangnya juga menyelamatkan pesawat agar bisa dioperasikan lagi.

Oleh karena itu Mayjen LB Moerdani kemudian menggantikan senapan M16A1 dengan senapan serbu H&K MP5 SD-2 buatan Jerman ketika operasi.

Senapan baru itu sangat cocok untuk pertempuran jarak dekat dan pelurunya yang dibuat secara khusus dan tidak akan merusak pesawat.

Baca Juga : Insiden Surabaya Membara Berujung Petaka: 4 Kejadian Tersambar Kereta Api di Indonesia Ini pun Tak Kalah Tragisnya

Tapi yang menjadi masalah pembagian MP5 dan pelurunya dilakukan mendadak ketika pasukan berada di dalam pesawat dan sudah bersiap di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk bertolak ke Bangkok.

Merasa ragu ada yang tidak beres dengan MP5, apalagi semua pasukan antiteror belum pernah menggunakannya, Kolonel Sintong pun memberanikan diri minta izin kepada Mayjen Benny untuk mencoba senjata.

Sontak Benny langsung sangat marah atas permintaan Kolonel Sintong karena merasa diremehkan.

Tapi ternyata uji coba penembakan MP5 diizinkan oleh Mayjen Benny meski pesawat sudah nyala mesinnya dan nyaris berangkat.

Mesin pesawat pun kemudian dimatikan.

Sejumlah pasukan antiteror kemudian menembakkan MP5 ke arah tanggul yang menjadi penahan panas yang keluar dari knalpot (exhaust)pesawat.

Semua senapan MP5 yang masih terbilang baru itu ternyata macet ketika ditembakkan.

Mayjen Benny pun terkejut bukan kepalang.

Mayjen Benny lalu memerintahkan ajudannya untuk mengambil peluru baru di kantornya yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan, dan hanya berjarak beberapa menit dari Lanud Halim.

Baca Juga : Raffi Ahmad Dinobatkan Jadi Artis Indonesia Terkaya dengan Kekayaan Rp32 Miliar: Ini 15 Sumber Kekayaannya

Ketika peluru yang masih baru dicoba ternyata bisa meletus sempurna.

Ternyata, penyebab kemacetan ternyata peluru yang semula dibagikan sudah kadaluwarsa.

Setelah semua pasukan antiteror mencoba senjatanya dan sukses, pesawat pun bertolak ke Bangkok dan tiba pada 30 Maret 1981.

Pada 31 Maret 1981 dini hari pasukan antiteror menyerbu pesawat DC-9 Woyla yang dibajak.

Mereka sukses membebaskan sandera sekaligus melumpuhkan 5 teroris dalam waktu tiga menit.

Namun yang pasti, jika Kolonel Sintong tidak memberanikan diri mencoba menembakkan MP5, operasi pembebasan sandera bisa saja gagal.

Pasalnya kelima pembajak bersenjata pistol dan granat tangan serta merupakan orang-orang terlatih dalam penggunaan senjata api.

Baca Juga : Bukan Karena Uang, Jerinx SID Ungkap Maksudnya 'Sentil' Via Vallen

(Sumber:Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas 2009).

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya