Lebih dari 36 Ribu Nyawa Jadi Tumbal, Letusan Gunung Krakatau 1883 Setara dengan 21 Ribu Bom Atom

Senin, 24 Desember 2018 | 15:31
Dok. Majalah Intisari

Penampakan Gunung Anak Krakatau dari kejauhan.

Suar.ID -Gunung Anak Krakatau kembali menjadi sorotan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya tsunami Banten pada Sabtu (22/12) kemarin.

Banyak yang menyebut, tsunami itu disebabkan salah satunya oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang memang tak pernah berhenti.

Meski begitu, banyak juga yang berharap Anak Krakatau tidak seperti ibunya dulu: Gunung Krakatau.

Memangnya kenapa?

Intisari edisi Agustus 1983 pernah memuat fragmen-fragmen kejadian meletusnya salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia dalam judul “Letusan Gunung Krakatau Lebih dari Bom Atom”.

***

Sebetulnya letusan itu tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat.

Pada 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Ahad, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina dan Jepang.

Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara.

Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak menimbulkan korban.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu batuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa.

Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian.

Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom Hidrogen terkuat dalam percobaan.

Dikira meriam apel

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikiranya suara guntur di tempat jauh.

Setelah pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau.

Lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut barat.

Juga di Batavia gemuruh itu dapat didengar, juga di Anyer, sedang di Serang dan Bandung mulai pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya.

Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

Dok. Majalah Intisari
Dok. Majalah Intisari

Perincian jumlah korban letusan Gunung Krakatau 1883

***

Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada Batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa.

Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.

Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orang pun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.

Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat kepada Gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah istirahat sclama dua abad.

Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah.

Jawabnya tiba dengan cepat:

'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer.’

Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tanpa terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam-berat.

Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng, Red) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas.

Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Masjid Istiqlal, Red) ditembakkan meriam sebagai isyarat, disusul oleh tanda terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi.

Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat.

Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya.

Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet.

Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sungguh-sungguh menggelegar dari dalam benteng Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!

Hujan deras batu apung di Teluk Betung

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi.

Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman patih dan wedana.

Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Juga Caringin yang berpenduduk padat hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit yang tingginya antara 20 sampai 50 m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi juga di laut lepas Krakatau menteror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya.

Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal London, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal NederlandIndische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM - Red.) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui dan Bengkulu.

Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi dari Jakarta.

Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa ratus orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini.

Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua.

Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu. Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal London mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia.

Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa bcrlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.

Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal.

Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menggelap, sedang laut agaknya makin berombak, hujan abunya makin deras.

Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimkan sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tak ada jawaban apa-apa.

Lalu kapten memerintahkan agar diturunkan sekoci kapal, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.

Lampu pelabuhan mnenyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung.

Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras.

Hujan batu apung membara dan abu panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan residen.

Termasuk Van Zuylen, klerk-griffier, pembantu Le Sueur, satu-satunya Belanda yang tewas. Kampung-kampung pantai di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian.

Hanya di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.

"Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik.

Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan dan kaki.

Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar.

Seorang di antara anak saya juga meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu."

Antara pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggcnangi halaman rumah kontrolir.

Ini merupakan dorongan kuat bagi Bayerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Raja Basa.

Semalaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul 11 malam hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala.

Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-mencrus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang. Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total.

Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri jika terkena kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan lukaluka bakar.

Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu.

Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Bayerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kediri yang pada hari Saptu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda.

Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat.

Mereka mendengar bahwa kontrolir dengan keluarganya mengungsi di Umbal Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kediri bertolak ke Jakarta.

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu.

Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

***

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali.

Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.

Yang tinggal hanya batuan scpanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk suatu kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km

***

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan keccpatan 121 km tiap jamnya.

Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi.

Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengakibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit.

Pada tanggal 30 November kabut itu mencapai Eslandia. Kabut debu itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang gemilang, matahari dan bulan berwarna dan munculnya corona.

Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk kota Missouri di Amerika melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau.

Pada tanggal 29 Desember di Hankow (Cina) orang melihat matahari tiba-tiba menjadi hijau, kemudian merah lalu kembali lagi hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang, letusan Krakatau "Lebih hebat daripada bom atom".

Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 Megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom.

Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini.

Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.

Editor : Moh. Habib Asyhad

Baca Lainnya